Tanyaku - GEMERCIK MEDIA

Thursday, 19 July 2018

Tanyaku

Ditulis oleh: Fitri Hidayahtika
Pendidikan Biologi

Api membara dalam hati, berkoar-koar pada jiwa muda yang ingin mendobrak daripada pikiran kolot. Seorang mahasiswa Peruguruan Tinggi Negeri ini dengan tergesanya melangkahkan kakinya menuju sang guru, yang sebutan profesinya adalah dosen bergelar M.Pd. Mahasiswi pemalu ini dengan tekad ingin menyampaikan gagasannya akan ketidakpuasan pelayanan pendidikan yang diterimanya. Ia mengaku sebagai perwakilan teman-teman ingin mengubah sistem kacau yang selama ini ia terima.


Sesampainya di tempat yang berlabel ruang dosen, ia masuk dengan sopannya menunjukkan etikanya sebagai mahasiswa sejati.


Tok.. tok.. tok…


“Assalamu’alaykum...,” ujar seorang mahasiswi berkerudung panjang.


“Wa’alaykumsalam... silakan masuk..,” ujar sang dosen dengan kacamata yang bertumpu pada kedua hidungnya, menyamarkan keriput yang berlipat dekat kedua matanya.


Mahasiswi berkerudung hitam ini, melangkah masuk, dengan suruhan sang dosen ia pun langsung duduk di depan meja sang dosen.


“Kenapa? Apa masalahnya?” tanya sang dosen dengan bijak.


“Begini bu, Indonesia ini banyak sekali masalah, khususnya pada bidang pendidikan ini.”


“Iya ibu tahu, tapi masalah apa lebih tepatnya hingga kamu memerah seperti ini?”


“Mohon maaf bu sebelumnya. Saya adalah seorang muslim, seperti yang ibu lihat.” Sang dosen hanya menganggukkan setuju akan fakta yang disampaikan. “Juga ibu tahu jika saya merupakan muslim yang taat, jika perkataan orang saya adalah ‘fanatik’.” Kembali sang dosen pun mengangguk paham. “Saya juga aktivis Islam, saya ikut organisasi Islam. Tapi mereka menjelekkan ormas saya ketika saya yang berlaku maksiat. Ibu paham?” tanya sang mahasiswi dengan semangatnya.


“Paham nak, silakan apa masalahnya?”. Kembali sang dosen dengan bijak menanggapi mahasiswa di depannya.


“Tapi saya merasa adanya dikotomi dalam pendidikan ini. Ibu tahu dikotomi apa yang saya maksud?” tanyanya dengan wajah yang memerah.


“Dikotomi apa? Coba kamu jelaskan dengan rinci.” Ujar sang dosen, menginginkan anak didiknya bebas berpendapat.


“Adanya pemisahan antara kehidupan dengan agama. Saat ini saya merasa, apa yang saya dapatkan diperkuliahan tidaklah terkait erat dengan keagamaan yang sehingga menghasilkan out put-out put-nya yang begitu hancur dalam menghadapi masalah kehidupan karena lemahnya iman, lemahnya ilmu agama yang mereka miliki. Sehingga keputusasaan merajalela dihadapan kami selaku mahasiswa tingkat akhir. Saya tidak ingin menyalahkan para dosen sebagai pembimbing yang kurang memotivasi kami. Tidak! Itu bukanlah salah para dosen. Saya menganggap ini adalah salah sistem yang telah diterapkan saat ini. Mengapa saya menyalahkan sistem? Karena dengan begitu kejamnya hampir merata disemua mahasiswa Indonesia ini, mereka merasakan hal yang sama pula. Tertekan, frustasi, bahkan stres melanda kami dalam menghadapi skripsi ini.” Sedikit terengah-engah sang mahasiswi ini menyampaikannya.


“Iya, ibu ngerti apa yang kamu rasakan. Toh ibu juga pernah mengalaminya. Lagian ini demi kebaikan kamu. Ini juga sebagai tanggung jawabmu selaku mahasiswa. Kamu punya kewajiban dalam mengerahkan segala macam bentuk karya demi umat. Seperti yang kamu dulu janjikan, akan berkarya untuk bangsa. Dan inilah salah satu caranya, bukan begitu?” ujar sang dosen.


Mahasiswa ini pun ingin segera menyanggah fakta yang disampaikan oleh sang dosen. Namun, ini juga sebagai tamparan baginya selaku mahasiswa dengan janji yang telah ia ikrarkan. Dengan cepat ia kembali berpikir.


“Alhamdulillah bu, makasih banyak atas apa yang telah ibu sampaikan. Ini sangat menampar harga diri saya selaku mahasiswa. Bahkan seharusnya saya mampu berkontribusi lebih selain dengan organisasi yang saya lakoni, melainkan juga pendidikan, penelitian yang saya lakukan untuk kesejahteraan masyarakat.” Jujur mahasiswa ini menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya. Ia kembali menenangkan hati, menatanya agar jiwa muda ini tetap tekontrol sesuai arahan.


“Namun, mengapa fakta dilapangan ini tidak menunjukkan hal yang demikian? Para alumni yang lulus, dengan mudahnya pergi. Seakan-akan skripsi ini adalah syarat saja untuk menebus ijazah? Bukan dengan serius berkontribusi dalam menyelesaikan masalah umat. Terlebih banyak sekali karya yang bukanlah hasil pemikiran mereka sendiri bagi mereka yang beruang. Mengapa masalah seperti ini yang selalu saya temui, serta merasa tidak ada jalan penyelesaiannya?” ucap sang mahasiswi menyampaikan banyak rumusan masalah yang perlu diselesaikan.


Sang dosen menghela napas, menenangkan batin dan pikiran setelah seharian melaksanakan kewajibannya. “Nak...,” sapa sang dosen dengan lembut. Merasa saat ini, menjadi sosok orang tua lebih berarti dibanding sosok dosen yang terlalu teoretis.


“Memang benar fakta yang kamu paparkan itu. Sering sekali kita temui di lingkungan kampus ini, terlebih bagi kita, mahasiswa dan dosen yang selalu menghadapi masalahnya.” Sedikit mengambil napas, kata Anda dilepasnya agar sedikit mengurangi ketegangan yang ada, pikiran sang dosen.


“Kami para dosen, bahkan pemerintah telah banyak berpikir, bahkan sangat keras berpikir untuk menyelesaikan masalah ini. Adanya kurikulum baru, kemudian peraturan bagi para dosen yang lebih ketat lagi untuk mendidik calon-calon sarjana, serta pemberian dana pemerintah dalam menunjang fasilitas pendidikan ini sudah sangat fantastis dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Kontribusi kami dalam memajukan negeri ini, khususnya bidang pendidikan telah kami lakukan dengan sangat kerja keras. Walaupun begitu, tidak dipungkiri, masih banyak oknum-oknum yang tidak bijak dan kurang bertanggung jawab dalam kontribusi yang telah kami bangun ini.”


“Itulah gambaran kerja keras kami, dan kami pun selalu mengevaluasi hasilnya serta memperbaiki kembali kinerja yang kami lakukan. Namun, masalah yang terjadi pada para mahasiswa ini, dikembalikan kembali kepada para mahasiswa. Kami telah berjuang memperbaiki, namun terkadang dengan aturan-aturan yang kami berikan justru mahasiswa sendiri yang melanggarnya. Mereka sendiri yang belum mampu diajak maju seperti apa yang kami inginkan.”


“Oknum yang seperti itu, pasti tetap masih ada. Namun, yang dapat kita jamin dalam perkara itu adalah pengurangan oknum yang cinta praktis,” ujar sang dosen.


Mahasiswa terdiam mengerutkan kulit dahinya.
“Sungguh luar biasa sekali kinerja pemerintah dan juga para dosen sebagai guru kami. Perjuangan yang sangat keras, dan kami selaku mahasiswa hanya dapat berkomentar protes. Kami masih terlalu awam atas apa yang dilakukan oleh para penguasa di atas.”


“Kami hanyalah rakyat yang menjadi imbas daripada apa yang pemerintah dan dosen sebagai penguasa perintahkan. Kami hanya tumut mengikuti arahan. Berjalan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Membuat skripsi, dengan ribuan bahkan jutaan mahasiswa yang di sana mereka awam akan ilmu agama mereka. Stres berhari-hari memikirkan apa yang dosen sarankan. Mengikuti alur penguasa, yang ketika ramadhan, kami tersibukkan dengan hapalan UAS yang dianggap sebagai fase penentuan hasil yang diinginkan. Sedangkan hafalan qur’an tidak ada yang tertanam dalam benak.”


“Sungguh berbeda dengan apa yang dulu dicontohkan oleh para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, serta para ulama yang begitu gemilang akan karyanya. Begitu gemilang akan hasil kognitif, psikomotor, dan afektifnya. Sangat jauh berbeda bukan bu?” tanya mahasiswa.


“Sangat berbeda. Namun jangan disamakan dengan zaman kegemilangan Islam. Karena saat ini, zaman ini, sudah jauh berbeda. Karena negara kita juga bukan negara Islam. Jadi jangan disamakan,” jawab sang dosen tidak sepaham.


“Mengapa jangan disamakan? Apa kita tidak bisa kembali seperti zaman yang dulu yang sangat gemilang? Apa kita tidak bisa menjadikan negeri ini, taat kembali akan ajaran agama yang mayoritas kita anut? Apa kita takut akan perpecahan yang terjadi, padahal kita belum mencobanya?”. Kembali banyak rumusan masalah yang diajukannya kepada sang dosen.


Sang dosen, menghela napas. “Bisa, sangat bisa kita kembali menuju masa itu. Namun, banyak sekali hal yang akan terjadi menuju masa yang sama seperti itu.” Ujar sang dosen.


“Ibu sangat mengerti posisimu. Namun ingat, masa itu merupakan masa yang sangat agung, sama halnya dengan cita-cita kami dalam memajukan bangsa ini. Kita sama-sama berjuang menuju suatu kebaikan. Serta yang harus kita lakukan menuju cita-cita mulia itu adalah ketulusan. Tuluskan hati ini, tuluskan caranya. Kita harus saling menjaga etika dan perbedaan pendapat yang terjadi.”


“Ibu sangat mengapresiasi kamu dalam menyampaikan pendapat. Sangat mengapresiasi atas cara berpikirmu yang luar biasa kritis. Namun, jiwa mudamu yang membara ini, cocokan kembali dengan akal sehatmu. Jangan sampai apa yang kamu serukan ini merupakan tuntutan hawa nafsumu.” Sang dosen kembali menampar harga diri mahasiswa yang kini tengah tertunduk ber-muhasabah.


“Islam adalah solusi dalam kehidupan. Yang pasti harus kita lakukan adalah mengembalikan semua lini untuk mengenal islam jauh lebih dalam. Setelah itu, rasa cinta akan tumbuh dalam di dalam jiwa, yang ingin menyerukan agar islam sebagai ideologi ini menjadi nyata diterapkan dalam kehidupan.” Sang guru menutup pembicaraan ini dengan sangat menyentuh dalam jiwa, terterap di dalam akal.


Mahasiswa mencium tangan sang dosen bertanda hormat. Kedua senyum terpancar di masing-masing bibir yang merona. Mata mahasiswa berkaca-kaca, merasa puas akan nasihat yang diberikan. Jiwa muda membara masih berkobar. Bara api yang membara menjadi jinak, beriringan akal yang sehat.


No comments:

Post a Comment