Perjalanan tanpa Cahaya - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Friday, 22 December 2017

Perjalanan tanpa Cahaya



  Kehidupan tidak hanya mengenai kebajikan, ia lebih sering memanfaatkan kebajikan untuk mempertahankan diri sendiri sedangkan kesengsaraan dipergunakan semata-mata untuk hiburan. Kaum seperti kami ini untuk mendapat sebungkus nasi saja harus memepertaruhkan nyawa, sedangkan mereka para Borjuis untuk nasi saja menghabiskan jutaan rupiah. Kenapa pula kehidupan masih saja memegang erat tali di leher kami?

Siang itu aku dan Dulah menikmati minuman dingin seribu rupiah di Si Emih kaki lima yang sudah tak asing dengan kehadiran kami. Tak lama lelaki berdasi dengan koper di tangannya keluar dari mobil menuju gedung pengambilan uang. Tak salah lagi, Borjuis sedang ingin makan enak tampaknya.

“gilaaaa, dengan uang ini kita bisa tidur nyenyak selama satu bulan, Dul.” Teriakku kegirangan sembari tetap fokus mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan sekitar 90 km/jam di jalan Sutisna Senjaya yang terkenal macet itu.

“diamlah jangan bicarakan jumlah uang ini dulu! Nyawaku sudah hilang separuh. Dasar wanita gila!.”  Kami benar-benar terbahak-bahak. Penuh sudah perut kami dengan angin polusi.

Gedung tua berlantai enam itu mulai tampak dari kejauhan, menandakan bahwa kami hampir tiba di “rumah”. Sebagian uang Borjuis itu pun sudah kami tukarkan dengan beberapa bungkus nasi, bukan hanya 2 perut yang harus kami isi, disini ada cukup banyak perut mungil yang lebih membutuhkan asupan gizi.

“ wah.. tikus perut buncit tampaknya, beruntung sekali kalian hari ini. Hahaha.” Anggap saja suara Fakoy ini adalah sambutan selamat atas penghasilan kami hari ini.

“ ya.. setidaknya cukup untuk mengisi perut dan menutup mulutmu. Aku tahu kau tak mendapat tikus hari ini.” Si Dulah melempar ucapan ringan sambil nyengir.

“ eittssss jangan salah, aku mendapat lintah, lintah emas! Jika dijual pasti cukup untuk sebungkus nasi, atau.. cukup untukku minum bersama gadis seksi. Hahaha..”

“ memberi makan diri sendiri saja sudah payah, ini masih pula ingin hura-hura dengan mereka. Ckckck.” Aku coba ikut andil dalam keseruan. Kegemaran Fakoy memang buang-buang waktu dengan hal menjijikan.

“ oh.. apa kau ingin jika aku hura-hura denganmu, adikku tersayang? Hmm?” sungguh menyebalkan! 5 cm lagi hidungnya sampai di mukaku, ditambah senyuman yang penuh gairah.

“ dasar gila!” sontak aku mendorong bahu bidangnya dengan sekuat tenaga kemudian menjauh darinya.

Dia adalah kakakku, tepatnya lelaki yang hanya lebih tua 2 tahun dariku yang kemudian aku anggap sebagai seorang kakak. Dia orang pertama yang kutemui di jalanan, saat aku berusia 7 tahu,, berhari-hari aku berdiam diri di gardu Taman Kota. Aku menangis, kedinginan juga kelaparan hingga seorang anak laki-laki menyodorkan sepotong roti padaku.

“ makanlah, aku sudah melihatmu berhari-hari disini. kamu pasti sangat lapar.” Suaranya membuatku mengangkat kepala yang kala itu tengah tertunduk di antara dua lutut. Aku memandangnya cukup lama kemudian menggelengkan kepala. Aku masih terlalu takut.

“ ini belum kadaluarsa kok, kamu tidak akan sakit perut.” Roti itu langsung ditaruhnya di tanganku. “jangan takut, sekarang kita ini saudara. Aku akan menjagamu.” Perkataannya berlanjut seraya membelai rambutku.
Bagaimana dengan orang tuaku? Entahlah, tak banyak yang kuingat. Hanya saja, Ayahku meninggal dalam kebakaran. Aku juga tak tahu bagaimana aku bisa berada di Taman Kota waktu itu. Tapi tak apa, aku cukup menikmati perjalananku saat ini, bersama mereka di “rumah” ini. Gedung tua berlantai enam yang terbengkalai akibat kebakaran. Selain diri sendiri, ada 9 anak yang harus kami beri makan dan kami sekolahkan. Setidaknya perjalanan anak-anak tak berdosa itu harus lebih nyaman dibanding kami.

Malam semakin larut dan aku masih menatap langit hitam yang juga kosong, membayangkan diriku yang tersesat di dalamnya. Semuanya hitam, gelap, tak ada petunjuk jalan, tak membekaskan jejak, terkadang aku menginjak ladang ranjau tapi aku tak mati dan hanya terus berjalan. Hidungku menghirup nafas panjang dan dalam, kelopak mataku menutup, air mata menetes begitu saja. Arghh, mengapa sungguh berat?!

“ jangan membayangkan apapun dan jangan pernah mengeluhkan apapun.” Akhirnya dia datang, wahai pemilik suara yang kurindukan. Dia terduduk di sisi kananku sembari menatap kota yang masih bercahaya. Aku menatap Kudil sembari tersenyum lega, kemudian mengarahkan kepala ke tempat tatapannya tertuju.

“ kita ada di sisi gelap Kota Cahaya ini, tapi mengapa kau memilih tidur di tempat ini?” inilah pertanyaan yang sejak lama ingin kutanyakan

“ perjalananku mengarah kesini, cahaya itu lama-lama membuat mataku menjadi sakit. Atau mungkin karena aku membekal sedikit cahaya untuk membantu dalam perjalananmu, Ila.”

Aku tak mampu berkata apapun lagi, tubuhku langsung menjatuhkan diri dalam pelukannya, mendekapnya dengan lembut. Tapi tiba-tiba seorang anak mendatangi kami dan berkata bahwa terjadi kekacauan di lantai bawah. Sudah kuduga, Fakoy pulang dalam keadaan mabuk berat, ia dibopong oleh seorang perempuan yang tak asing, Olim, teman kami.

“ oh Ilaku sayang, kenapa kau belum tidur? Oh.. apa kau menantiku? Kau ingin tidur denganku? Hmm? Baiklah, baiklah, ayo!” bicaranya sungguh melantur saat aku melangkah mendekatinya, aroma alkohol seketika merebak saat dia memelukku dengan posisi yang sempoyongan.  Ia hendak melangkah sembari memegang pergelangan tanganku. Aku membanting genggamannya dan mengarahkan tubuhnya agar menghadap ke arahku walau sulit untuk benar-benar mengarahkan sorot matanya pada wajahku.

“ sadarlah! Sampai kapan kau akan seperti ini?! Berhenti membuat perjalanan ini semakin melelahkan, berhenti membagikan uangmu dengan para wanita murahan itu!” aku menamparnya, aku berteriak, aku muak, tapi air mata juga mengalir deras di wajahku.

“ kau bukan adikku! Kau juga bisa menjadi wanita murahan seperti mereka! Sekarang kau sudah dewasa dan kita tinggal di rumah yang sama, apa kau tak ingin menjadi milikku seutuhnya, Ilaku sayang?” matanya memaksa terbuka lebar agar mampu melihat wajahku dan kedua tangannya terus saja memaksakan untuk mendekapku.

“ hentikan!!!” sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya yang bahkan tak mampu berdiri tegak itu hingga terjatuh ke tanah dan tergeletak tak sadarkan diri sebab efek mabuk. “ aku ini adikmu, Fakoy. Aku adikmu!!!” teriakanku beriringan dengan amarah yang meluap serta tangis yang tak terbendung. Aku terduduk di lantai. Giliran tubuh Kudil yang mendekapku dengan lembut. Fakoy pun segera dibawa ke kamarnya oleh Dulah.
Tapi tiba-tiba..

“ akhirnya kami temukan, disini rupanya persembunyian kalian.” Sekitar delapan pistol mengitari kepala kami, perlahan kami berdiri sambil mengangkat tangan. Kemudian “dakkk!” pistol di genggaman para polisi itu kami tending hingga terpental ke tanah.
Aku, Dulah, Kudil, Fakoy dan Olim nampaknya harus berolahraga di larut pagi seperti ini, kami tak boleh tertangkap agar tetap dapat merawat sembilan anak tak berdosa itu di gedung ini, kami tidak bisa mempercayakan mereka kepada Dinas Sosial ataupun Yayasan. Kami berkelahi kemudian berlari, fajar sudah mulai memberi warna di Timur, mungkin sekarang sudah pukul 3. Kakiku mulai lelah, lariku mulai melambat, aku terengah di posisi paling belakang.
“ duaarrrrrr, bssshhhhh…”  sebutir peluru menembus di antara otot arteri dan organ perutku. Tubuhku tumbang.

Seketika Kudil tepat di kepalaku, dan yang lainnya ada di sisi kanan dan kiriku. Mereka tampak berteriak namun aku tak mendengar apapun. Kelopak mataku terasa berat, aku ingin sekali tertidur tapi tubuhku terasa sangat dingin seolah berselimut salju, seolah aku akan membeku.

“ Dil, maaf aku mengeluh kemarin, tapi sepertinya aku akan segera berada di langit hitam yang kita pandang itu, dan benar-benar tanpa cahayamu. Temui aku saat langit tanpa bintang ataupun surya, aku membutuhkanmu saat itu, aku akan ada disana saat itu, tersesat dalam perjalananku. Aku akan sangat merindukanmu..”  Kukerahkan semua tenaga yang tersisa untuk mengatakan selamat tinggal padamu, Dil, sebelum semuanya lenyap dan gelap.   Aku kalap.

“ Fakoy, terimakasih telah menemukanku, aku tak pernah menyesal ada dalam perjalanan ini bersamamu, adik jelekmu ini sudah besar jadi berhentilah berpura-pura menjadi idiot yang selalu memberi wanita murahan itu uang, perjalananmu harus lebih nyaman walau tanpaku, adik kesayanganmu. Aku bersyukur..”  Rangkaian kata-kata ini mengalir dalam gelapnya ruang pikirku, sebab tak lagi mampu kubuka lisan ini.

“perjalananku, berlabuhkah?” Bisik hati kecilku...  (Lailatul Badriah)


No comments:

Post a Comment