“Kita
harus memikirkan bukan saja bentuk pemerintahan apa yang terbaik, namun juga
apa yang mungkin dan paling mudah di capai oleh semua”. (Aristoteles)
Sebuah kalimat yang dikutip dari
Ariestoteles di atas adalah peringatan kepada sebuah negara yang harus
mempedulikan karakteristik warganya. Negara yang esensial harus bisa memberikan
kesempatan kepada Khalayak (Masyarakat) supaya bisa meraih hal-hal moral dan
Intelektual yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kehidupan yang baik. Oleh
sebab itu negara harus selalu mengupayakan serta bisa menjamin kesejahteraan
bersama, karena
sebagaimana kita ketahui selaku mahasiswa, khususnya dalam kesejahteraan umum,
maka kesejahteraan individu itu dapat diperoleh.
Istilah kampus sebagai miniaturnya negara tidak lagi
asing terdengar di kalangan civitas akademik khususnya
di Universitas Siliwangi yang selalu kita banggakan ini. Kampus hanya
menjalankan mandat mahasiswanya, untuk memberikan pelayanan dan hak-hak
intelektual mahasiswa. Bahkan kewenangan kampus dibuat
oleh aturan-aturan yang dibuat warganya sendiri. Jika kita selalu beranggapan
kampus adalah miniatur negara, lalu bagaimanakah
dengan Leviathan yang mengambarkan sebuah negara itu seekor makhluk sejenis
monster yang sangat buas. Pertanyaannya, apakah kampus Universitas Siliwangi
saat ini sama dengan konsep negara yang dikatakan
oleh Leviathan?
Berbicara tentang kampus sebagai miniaturnya negara
tentunya tidak akan bisa dilepaskan dari konteks pemenuhan
HAM (Hak Asasi Mahasiswa) sesungguhnya itulah esensi dasar keberadaan kampus
Universitas Siliwangi. Tugas kampuslah untuk memberikan kemudahan akses
pemenuhan terhadap hak para mahasiwa, baik dalam hal fasilitas, maupun dalam
hal intelektualitas. Termasuk pemenuhan terhadap hak-hak politik mahasiswa
dalam proses-proses pengambilan keputusan yang akan lahir sebagai produk
kebijkan di tataran kampus maupun fakultas. Di sinilah
seharusnya kedaulatan mahasiswa ditegakkan.
Mahasiswa harus menajadi penentu dan control
di bawah pemerintahan yang terbentuk.
Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan terhadap
mahasiswa, lembaga kampuslah yang menjadi aktor utama yang bertanggung jawab
dalam upaya pemenuhan hak-hak mahasiwa. Demikian pula dalam
sebuah sektor-sektor pelayanan mahasiswa yang dirasa
harus diperbaiki, serta peran kampus itu harus lebih dominan. Perlindungan atas
hak mahasiswa perlu dilihat sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dan tidak berdiri sendiri
ataupun hanya sebuah proyek semata.
Seiiring dengan semakin maraknya kehidupan
berdemokrasi di kalangan mahasiswa, maka wacana tentang pelayanan
mahasiswa
menjelang pergantian kepemimpinan rektor menjadi isu yang strategis di kampus Universitas
Siliwangi ini. Karena sebuah pelayanan merupakan hak dasar setiap individu
mahasiswa yang harus dipenuhi oleh kalangan lembaga kampus. Selama ini,
rendahnya kinerja birokrat dan pejabat
lembaga di tataran kampus dalam memberikan pelayanan mahasiswa salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya etika kuat yang bisa digunakan oleh pejabat
lembaga kampus dan tataran birokrat. Mereka belum mampu menempatkan para
pengguna jasa (mahasiswa) “pelanggan” yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi nasib dirinya sendiri. Para mahasiswa tatkala masih diperlakukan
sebagai klien yang nasibnya ditentukan oleh birokrasi dan sekelompok kalangan.
Nilai-nilai kesetaraan maupun profesionalisme yang seharusnya
menjadi dasar dalam pengembangan etika pelayanan masih sangat jauh dari
realisasi penyelenggaraan pelayanan. Akibatnya diskriminasi, perlakuan
tidak adil dan sewenang-wenang dalam penyelenggaraan pelayanan terhadap
mahasiswa masih dengan mudah di jumpai di hampir berbagai tempat yang berada di
kampus Universitas
Siliwangi.
Kerumitan pelayanan ini semakin diperparah oleh
adanya pihak-pihak petinggi kampus dan birokrasi yang amat tidak transparan
mengenai sebuah perencanaan dana pertahunnya, serta jarangnya
perwakilan-perwakilan dari kalangan mahasiswa yang ikut dalam sebuah proses
pembuatan peraturan-peraturan baik di tataran lembaga universitas maupun
tataran lembaga fakultas mengingat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional,
khususnya dalam penjelasan pasal 50 ayat (6) di katakan “yang di maksud dengan
otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian untuk mengelola sendiri
lembaganya:. Jelaslah bahwa para mahasiswa harus ikut berperan aktif
sebagai warga kampus itu sendiri dalam menentukan sebuah kebijakan. Padahal
seharusnya fungsi mereka adalah untuk mempermudah pekerjaan ataupun pelayanan
bukan malah sebaliknya. Sehingga banyak sekali ucapan-ucapan yang bernada
sumbang mengakibatkan tidak
signifikannya layanan-layanan yang diberikan kepada mahasiswa. Realitas semacam
ini menegaskan mahasiswa dari tahun ke tahun masih sebagai objek
hukum yang tidak mempunyai hak untuk menuntut. Dengan kata lain, pelayanan
harus dilayani oleh mahasiswanya, padahal yang benar adalah kampus harus
melayani mahasiswanya sebagai rakyat. Hal ini disebabkan pemerintah
negara ini melahirkan UU nomor 25 tahun 2009 tentang sebuah pelayanan publik
yang wajib kita patuhi selaku warga negara.
Idealnya semua hal yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban warga kampus baik pemberi (kalangan birokrat dan para pejabat
lembaga) maupun penerima (mahasiswa) selalu diadakannya-ruang-ruang
publik secara rutin dan berkala demi terciptanya posisi tawar menawar antara
pengguna layanan dan pemberi layanan. Hingga diharapkan sebuah layanan yang
terbangun di lingkungan Universitas Siliwangi ini adalah layanan terhadap
mahasiswa yang berbasis kesepakatan, yakni jikalau akan dirumuskannya sebuah
kebijkan-kebijakan yang berkaitan dengan mahasiswa harus berdasarkan
kesepakatan bersama semua kalangan secara terbuka. Karena
ruang-ruang publik
bebas seperti itu berfungsi
sebagai alat bagi masyarakat untuk melakukan kontrol
terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan layanan oleh para pemangku kebijakan
karena
memang benar layanan kepada mahasiswa di kampus ini adalah urusan dan tanggung
jawab bersama. (Fauzi Taufik Ismail / FISIP’14)
No comments:
Post a Comment