Cold Heart - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Saturday, 31 October 2015

Cold Heart


Penulis : Jihan Mutia Zalfa (Gemercik Info)

Atlanta, Desember 2013
Salju putih yang menggenangi jalan membuatnya harus berhati-hati melangkah. Kepalanya menunduk, bukan untuk memperhatikan langkahnya, melainkan karena beban di kepalanya sudah menumpuk seperti salju yang merundukkan ranting pohon. Hari ini entah sudah berapa masalah yang melanda, membuatnya sulit bahkan hanya untuk mengangkat kepala.      
            Dito mengambil kameranya dan melihat sekeliling melalui lensa kamera. Semua orang tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Lihatlah  orang-orang itu, setidaknya ia masih lebih beruntung dari mereka. Seorang pengemis tua dan pengamen yang seakan tak terlihat di keramaian, pedagang, pelukis jalanan sampai orang kantoran, wajah mereka menyimpan beban dan masalah masing-masing. Rasanya terlalu naif menganggap diri sendiri yang paling lelah dan menderita.
            Anak-anak dengan wajah mereka yang polos, tanpa senyum di wajah, hanya memperhatikan semua keanehan ini. Betapa kehidupan orang dewasa tak bisa mereka mengerti, seperti kehangatan telah direngut dari mereka, semuanya telah membeku menjadi es.    
 Deja vu. Ya... rasanya perasaan itu pernah datang padaku dulu. Tapi apakah hatiku juga secara perlahan sudah berubah seperti mereka. Dingin dan membeku.           
            Ditengah lamunan, seorang anak lelaki bersepeda hampir menabraknya dan membuat kamera dalam genggamannya jatuh. Dito memungut kameranya yang untung saja tak kenapa-napa.
“Hei! Hati-hati dong... kau mau kemana? Tunggu!”
            Tadinya Dito ingin memarahi anak itu, sekalian melampiaskan emosinya. Tapi melihat anak itu ketakutan rasanya ia tak tega, apalagi sekarang anak itu terlihat sedang meratapi kameranya yang juga jatuh dan rusak.
“Maaf, aku tidak sengaja.”
Kata-kata itu... kejadian ini seperti pernah terjadi sebelumnya. Lutut anak itu berdarah, Dito menghela napas dan tersenyum tipis.
“Ayo ikut, kamu tak usah takut.”
Anak itu sedang duduk diluar, sementara Dito masuk kedalam untuk mencari kotak kameranya. Ia membuka sebuah kotak yang ternyata isinya adalah sebuah kamera usang miliknya dulu. Kamera yang telah membuka matanya untuk melihat dunia. Kenangan masa lalu pun menguar.
###
Indonesia, 20 tahun yang lalu...
            Raut wajah Dito berubah semangat, ia sangat senang akan mendengar kabar dari ayahnya.
            “Ma, itu tadi papa ya? Papa dimana ma? Kok tadi langsung di tutup saja? Dito kan ingin ngobrol sama papa... kenapa sih papa tak pulang ke rumah?”           
            Perempuan setengah baya itu malah menutup telingnya marah, wajahnya terlihat panas, jadi ia langsung meneguk es yang tersisa di gelas. Menghiraukan semua pertanyaan anaknya.
            Sejak saat itu setiap pertanyaan ‘kenapa’ yang Dito lontarkan tak pernah berbalas sebuah jawaban berarti. Ibunya malah marah dan mengatakan jangan menanyakan ‘kenapa?’ lagi padanya. Oleh karena itu Dito belajar, mungkin kata ‘kenapa’ itu dilarang. Jadi ia tak pernah bertanya lagi pada ibunya, ia hanya membiarkan ibunya sibuk dengan dunianya sendiri tanpa mau tahu dan mengerti dunia macam apa yang ada pada orang dewasa.       
            Dito masih kecil jadi ia masih belum mengerti banyak hal, tapi seiring bertambahnya usia kini ia mengerti bahwa orang tuanya sudah berpisah dan ia tak bisa bertemu dengan ayahnya lagi.
            Rumah bagi Dito hanya seperti sebuah hotel, tempat untuk tidur dan makan. Ia tak betah jika harus selalu makan di meja yang besar sendirian. Dan ketika Dito berbaring di ruang tengah ia segera bangkit dan menutup jendela-jendela rumahnya yang besar.            
            “Rumahku terlalu berisik, berisik oleh suara angin yang dingin.”       
            Dito memanggil nama orang sesuka hatinya siapa tahu mereka hantu yang menghuni rumahnya. Dito tidak akan takut, malah ia akan senang jika ada yang mau menemaninya walau hantu sekalipun. Hening lama, Dito menyadari tak ada siapapun kecuali dirinya seorang.            
            “Maa..? Paa..?” Dito memanggil orangtua nya yang rasanya tak pernah ada, satu entah dimana dan yang satu lagi gila bekerja.          
            Karena bosan Dito melihat barang-barang dirumahnya, mencari sesuatu menarik yang setidaknya bisa sedikit menghilangkan rasa sepi yang menyebalkan. Lalu sebuah kotak kecil usang menarik perhatiannya, di dalam kotak itu ada sebuah kamera yang dulu pernah digunakan untuk merekam berbagai momen indah dalam hidupnya.
###
            Benar, serangkaian deja vu yang dirasakannya tadi ternyata memang pernah terjadi dalam hidupnya, tapi masih ada banyak hal yang tak bisa diingatnya. Dito memindahkan baterai kamera barunya pada yang lama lalu menghidupkanya.       
            Bantu aku mengingat semuanya. Pinta Dito pada kamera usangnya.
            Kamera itu pun terbangun dari tidur panjangnya lalu memutar ulang memori lamanya saat pertama kali Dito menekan tombol untuk menghidupkannya dulu, dan sejak saat itu memulai banyak kenangan indah.
###
Indonesia, 10 tahun yang lalu...
            Aku merasakan diriku bergetar lalu kegelapan yang sudah lama menyelimuti ku  kini perlahan menguarkan warna-warni baru yang terang benderang. Oh siapa anak lelaki itu? Rasanya aku mengenalinya. Anak itu membuatku melayang di udara lalu memasang sebuah senyuman, senyum yang terasa hampa, matanya memandang sayu tapi masih berusaha untuk memancarkan sinar. Kini wajah anak itu sudah terekam dalam memoriku.  Aku mencoba menggali memori ku lebih dalam lagi dan aku mengingatnya sekarang, Dito?   
            Kini Dito sedang membuka file-file memori ku, melihat potret kenangan yang telah terekam. Melihat wajah kecilnya dulu yang polos, juga wajah bahagia kedua orang tuanya. Tapi lampu merah sudah mulai berkedip mengisyaratkan daya tahan ku akan segera habis, aku pun tertidur lagi dalam kegelapan. Tapi itu tak lama karena kehangatan kini menjalar memberikan energi dalam tidurku. Aku mempunyai firasat bahwa aku akan segera melihat dunia lagi dan merekam lebih banyak memori indah.
            Senang sekali rasanya firasatku menjadi kenyataan. Ia mengangkatku yang kini terlingkar dilehernya, membiarkan aku melihat wajahnya dengan jelas. Kini wajahnya sudah lebih hidup, matanya menyiratkan harapan baru. Ia memotret banyak hal yang menarik perhatianya,  walau itu hanya embun diatas daun atau semut rang-rang yang tengah berbaris memasuki sarang.
            Mata kamera ku menangkap sekumpulan anak kecil yang sedang bermain bola, rupanya Dito pun melihat mereka dan mulai memotret anak-anak ceria itu. Aku merasakan sebuah firasat buruk yang datang mendekat dengan kecepatan tinggi, aku ingin berteriak saat bola melayang cepat kearahku, tapi sayangnya aku tak punya mulut untuk bicara. Untunglah, dengan cepat Dito bisa menangkap bola dan sukses membuat anak-anak itu memandang takjub padanya. Seorang anak yang barusan menendang bola menatap Dito takut-takut,
            “Maaf kak tadi tidak sengaja.”
Dito tersenyum lantas meletakkan bola di tanah, “Boleh kakak coba tendang?”
“Boleh, sepertinya kakak jago main bola!” ujar salah seorang anak diikuti anggukan teman-temannya.        
            Dito berhasil membuat sebuah shooting yang keren ke dalam gawang, sekali lagi membuat takjub anak-anak itu. “Kak ayo ikut main di tim aku!” pinta seorang anak. “Jangan, tim mereka sudah jago, kakak bantu di tim aku saja ya kak?!” Kedua kubu anak-anak itu menarik-narik tangan Dito kekanan dan kiri, membuat tubuhku terguncang seperti perahu kora-kora.       
            Dito meletakkanku di sebuah bangku, dan mengarahkan lensa ku dengan apik sehingga aku dapat melihat seluruh lapangan. Ia menekan tombol kamera dan bergaya di depan ku, ia mengajak anak-anak itu untuk ikut serta. Lalu mereka mulai berlarian mengejar bola ke setiap penjuru lapangan. Aku tak pernah melihat wajah Dito seceria itu sebelumnya. Aku pun tersenyum jika saja aku punya mulut.
            Seperti  Alice yang menemukan Wonderland-nya mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Dito saat itu. Aneh , bagi Dito ini aneh karena dunia yang ia lihat sebelumnya sangat berbeda dengan dunia yang baru ia temukan.   
            Lensa ku menangkap seseorang di bawah pohon yang tampak mencurigakan, untunglah aku bisa memperbesar pandanganku sehingga orang itu terlihat jelas, seorang gadis dengan pensil dan buku sketsa di pangkuannya. Ada seseorang yang menghampirinnya, Dito. Ah, aku tak bisa mendengar mereka dengan jarak sejauh ini.         
            “Kak! Ini kamerannya ketinggalan,” ujar seorang anak sambil membawaku menuju Dito. Huft. Dito tersenyum dan mengalungkanku di lehernya. Kini aku bisa merekam semua percakapan mereka dalam memoriku.      
            “Oh, jadi kamu yang tinggal di rumah hantu itu?” Gadis itu menutup mulut merasa keceplosan. Dito hanya tersenyum kemudian mengangguk.     
            “Maaf... soalnya aku jarang lihat orang di sekitar rumahmu, jadi aku kira tak ada penghuninya.”
            “Iya tidak apa-apa... memang rumahku jarang ada orang nya, kita semua tinggal di kota. Dan hanya sesekali saja datang ke rumah. Tapi dulu waktu kecil aku dan keluargaku tinggal  di sana kok.”
            Mata gadis itu melebar, “Jadi kamu... Dito?” Gadis itu mengeluarkan kotak dari dalam tasnya dan memberikannya pada Dito.     
            Dengan diselimuti keheranan Dito membuka kotak itu dan ternyata di dalamnya ada sebuah action figure Superman kesayanganya waktu kecil, juga baju Barbie. Dito memandang gadis itu lebih heran lagi lalu membaca sebuah gulungan kertas yang sudah kusam termakan waktu dan tanah.
            “Kotak cita-cita: nanti 20 tahun yang akan datang kita akan buka lagi kotak ini dan pada saat itu cita-cita kita sudah terwujud. Dito: Jadi Superman, Anneu: Jadi designer.” Dito langsung tertawa kencang membacanya.
            “Ini apa sih?” Dito akan menyangkal habis-habisan jika Anneu bilang dirinya lah yang menulis hal konyol itu.           
            “Kamu tidak ingat? Dulu waktu kecil, aku dan anak-anak yang lain sering datang ke rumahmu, penasaran ingin main denganmu. Tapi... mama kamu galak jadi, kami malah takut...”
            “Oh ya?” Dito berusaha keras mengingatnya, entah sepertinya ia memiliki ingatan yang pendek.
            “Wajar kamu lupa, masih banyak hal lain yang lebih penting dan berharga untuk kamu ingat kan? Tapi, yah pokoknya kadang kamu suka kabur dari rumah, manjat pagar lalu kita main bersama sampai sore. Dan sebelum keluargamu pindah ke kota, kita buat kotak cita-cita ini.” Senyum lega mengembang di wajah gadis itu, matanya menyiratkan sesuatu yang ganjil tapi... hangat.
            Dito hanya bisa menyimak dan mangut-mangut sendiri, ia rasa Anneu tidak berbohong dan memang Dito merasa seperti sudah akrab dengan gadis itu, tak sekali pun rasa canggung melanda.
            “Jadi mimpimu jadi Superman itu udah terwujud belum?” ledek Anneu.       
            “Aduh, itu kan aku masih kecil dan polos juga, mana bisa jadi Superman. Tidak realistis. Kamu sendiri gimana?”         
            Anneu tersenyum bangga, “Mimpiku lebih realistis ya, padahal aku juga masih kecil dan polos.” Anneu memamerkan gambar desain bajunya,“Masih jelek sih tapi yang penting dari sekarang aku sudah usaha, siapa tahu suatu saat nanti bisa terwujud.”          
            Dito merenung, ia menuliskan sesuatu dalam kertas lalu menyerahkan pulpen dan kertas itu pada Anneu. Mereka membuat kotak impian yang baru. Anneu tetap dengan cita-citanya menjadi designer tapi ia menuliskanya lebih rinci. Dan Dito,
            “Aku ingin jadi fotografer, aku akan berkeliling melihat dunia dan menemukan dunia yang lebih hangat.”
           
Aneh, aku seperti bisa mendengar kata hati Dito, aku ingin menelusuri kemampuan ajaib ku ini lebih lanjut. Tapi bateraiku habis dan kegelapan menderaku, aku tak bisa melihat dan mendengar apapun lagi.
###
            Dito termenung lalu tersenyum penuh arti, melihat semua foto dan rekaman dalam kamera usang yang telah membuatnya terlempar pada saat itu. Saat-saat ia menemukan banyak kehangatan, berbagi kenangan indah, memiliki cita-cita untuk diwujudkan. Saat-saat yang membuatnya benar-benar merasa hidup. 
            Kini cita-cita itu telah terwujud, Dito menjadi fotografer berita. Ia telah melihat banyak dunia dan kehidupan lewat lensa kamera. Tapi dunia yang ia lihat bukanlah dunia yang hangat seperti yang ia impikan, melainkan dunia kejam dan dingin yang bisa membekukan hati siapa saja. Berbagai kejahatan dan ketidakmanusiawian telah ia lihat untuk dijadikan konsumsi  publik, semua itu terlalu banyak hingga rasanya, hatinya sudah cukup kebal hanya untuk merasakan pilu.          
            Anneu? Benar, ia pernah melihat berita tentang gadis itu, bahkan pernah memotret acara fashion show rancangan gadis itu waktu di Paris. Dito malah melupakan gadis yang sudah sangat berubah itu, tapi ia senang karena kini mereka telah berhasil mewujudkan apa yang tertulis dalam kotak impian itu. Ah rasanya aku ingin pulang dan menggali kotak itu.     
            Dan hari ini adalah titik balik dalam hidupnya, ia merasa lega pernah mempunyai hati yang hangat, pernah memimpikan hal  yang indah. Dito mengangkat kepalanya dan menengadah, merasakan beban di kepalanya sudah berkurang. Ia tersenyum sambil membersihkan dan mengecek keadaan kamera lamanya itu.
            Anak itu masih di depan rumahnya, sibuk mengutak-atik kameranya yang rusak. Dito menyuruh anak itu duduk di dalam lalu memberikan coklat panas padanya. Anak itu tersenyum tulus, hangat. Dito mengobati luka anak itu. Tapi wajah anak itu malah terlihat sedih lagi ketika memandangi kameranya yang rusak. Dito melihat kamera anak itu yang nampaknya masih baru tapi karena terbentur keras agak sulit untuk memperbaikinya.         
            “Ini milikmu?”
            Anak itu mengangguk. “Itu hadiah dari ayahku, aku baru saja mau menggunakannya... aku ingin jadi fotografer!” jawab anak itu mantap.   
            Dito tersenyum dan memberikan kamera lamanya pada anak itu. “Ini kamera lama, tapi masih bagus kok... kau bisa pakai.”     
            Anak itu terlihat takjub tak percaya. “Benarkah??”    
            Dito mengangguk, dalam hati berharap anak ini dapat melihat indahnya dunia dengan lensa itu,dapat menemukan kehangatan seperti dirinya dulu.
            “Terimaksih kak!” ujar anak itu senang sambil sibuk mencoba kamera barunya.       
            “Smile!”          
            Hangat, rasanya hangat dan nyaman... anak-anak itu tak membutuhkan banyak hal sebenarnya. Rasanya hanya dengan satu kebaikan tulus mereka sudah dapat tersenyum hangat. Butiran salju putih perlahan turun kebumi. Dalam hati kecilnya Dito berharap lagi, semoga kehidupan yang dingin ini tak membekukan hati mereka yang hangat.       

###

No comments:

Post a Comment