Polemik RUU MD3 - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Thursday, 15 March 2018

Polemik RUU MD3





Kontroversi terus terjadi sejalan dengan adanya RUU MD3 atau Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang direvisi. Undang-undang ini mengatur kewenangan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Setelah pada tahun 2014 (UU Nomor 17 tahun 2014) disahkan dan menuai kontroversial dengan isi dari Pasal 78 dan Pasal 80, yakni mengenai dana aspirasi sebesar 20 milyar dari setiap anggota DPR yang ditujukan untuk pembangunan wilayah representasi dari anggota DPR tersebut, kini Pasal 122 huruf K Tentang Penghinaan Terhadap Parlemen serta Pasal 245 Tentang Izin Dari Presiden Serta MKD Atas Anggota DPR Yang Tersangkut Perkara Hukum "Yang Menjadi Kontroversial".

Hal inilah yang menjadi banyak perbincangan publik bahkan aksi di kalangan mahasiswa yang merasa aturan tersebut tidak relevan serta memupuk kembali masa Orde Baru yang mengekang hak masyarakat dalam mengkritik para wakilnya. Maraknya aksi tanpa pemahaman setiap mahasiswa membuat adanya “gagal paham” dalam memaknai maksud dari pasal-pasal tersebut. Kajian diperlukan dalam tiap penyampaian aspirasi terkait pasal yang dirasa membuat para wakil rakyat mempunyai kekuatan sangat besar hingga bisa saja semena-mena.

Padahal bila ditilik lebih dalam lagi, tanpa adanya MD3 pun pemerintah sudah melakukan hal yang semena-mena dalam beberapa kasus. Sebut saja para aktivis lingkungan di Semarang, Kulon Progo, Bali dan daerah lainnya yang berniat membela masyarakat dengan aksi tapi justru ditahan, diculik, dididskriminasi hingga mendapat tindakan representatif dari aparat (TNI/Polisi). Inilah yang menjadikan perbedaan pandangan tiap kampus ataupun tiap organisasi yang mempunyai urgensinya masing-masing.

Kembali pada kasus MD3, pasal 122 huruf K mempunyai makna bahwa pemerintah saat itu mendorong agar lembaga wakil rakyat tidak kehilangan kewibawaannya melalui pasal tersebut, namun dengan catatan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebebasan berpendapat. Apalagi sejatinya Indonesia merupakan negara demokrasi, dengan kata lain kebebasan berpendapat harus dimiliki oleh masyarakat karena kekuasaan sesungguhnya adalah milik rakyat, dan lembaga wakil rakyat merupakan pelayan bagi rakyat. Meskipun di Indonesia sendiri, pelayanan tidak dirasakan secara merata apalagi di kalangan masyarakat di bawah garis kemiskinan.

Pasal tersebut pun sebenarnya dibatasi yakni pada yang merendahkan martabat lembaga DPR dan anggota DPR saat sedang melaksanakan tugas-tugas konstitusional. Artinya jika diluar tugasnya sebagai DPR, kemudian individu tersebut melaporkan bahwa direndahkan martabatnya, maka pasal ini jelas tidak berlaku. Inilah mengapa perlunya pembatasan-pembatasan dalam pasal-pasal yang sekiranya membuat pemerintah begitu kuat atau kebal hukum. Pada intinya setiap pelaporan memerlukan penyaringan terlebih dahulu.

Selanjutnya pasal 245 tentang izin dari Presiden serta MKD atas anggota DPR yang tersangkut perkara hukum. Hal ini memberikan perspektif bahwa pemerintah mendorong adanya hak imunitas tidak terbatas kepada anggota DPR. Ini perlu diperhatikan bahwa tanpa diprotes pun, perkara hukum yang berat dan dianggap suatu hal yang membuat pejabat negara itu tidak lagi pantas dijadikan sebagai wakil rakyat untuk segera ditindak secara hukum, bukan dilindungi apalagi oleh pimpinan negara. Ketentuan izin dari MKD serta Presiden tidak berlaku jika anggota DPR tersangkut perkara hukum tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika dan makar.

Perdebatan perihal MD3 diharapkan ada peninjauan kembali, begitulah tuntutan dari massa aksi yang pernah terjadi oleh beberapa organisasi. Padahal sebenarnya yang paling efektif, menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly (kepada tim Kompas.com) menggugat RUU MD3 ke Mahkamah Konstitusi tetapi setelah sah menjadi UU, maksudnya adalah jika digugat sebelum menjadi UU, nantinya gugatan akan dibatalkan.

Adapun disahkannya MD3 sebagai undang-undang menuai kontroversi setelah ramainya Presiden Jokowi tidak menandatangani rancangan tersebut. Banyak masyarakat awam yang merasa aman dengan tidak ditandatanganinya RUU MD3, padahal dalam Pasal 73 ayat (2) UU 12 Tahun 2011 disebutkan “dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

Dengan kata lain tanpa tanda tangan Presiden Jokowi pun RUU MD3 tetap akan disahkan dan diundangkan. Sehingga begitu disahkan dan diundangkan, undang-undang tersebut sudah mulai berlaku seperti yang tercantum pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang berbunyi “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Adanya kerancuan-kerancuan lain dalam undang-undang dirasa perlu lebih dikaji dari pada sekedar aksi terkait RUU MD3 saja, karena undang-undang yang lain pun membutuhkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Perlunya pendidikan politik, hukum dan budaya lebih mendalam, entah itu secara formal ataupun informal di perkuliahan agar mahasiswa tidak semata-mata melaksanakan kajian tanpa memahami dasar bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya ataupun hal lainnya yang dikritisi. Sejatinya mahasiswa merupakan kaum akademisi yang harusnya juga memberikan pencerdasan lebih kepada masyarakat, sehingga tidak hanya memahami idealismenya saja tetapi juga keadaan empiris di masyarakat ataupun pemerintah. Terpenting ialah mahasiswa tidak hanya sekadar ikut-ikutan hingga tidak memahami esensi dari tindakannya, bahkan bisa saja merugikan dirinya dan atau orang lain. (Iftihal Muslim Rahman) 



“Jika hukum itu salah, maka lawan dan bukan hanya berdiam diri. Negara ini bobrok karena membiasakan orang baik mengalah pada orang salah”
 –Iftihal Muslim Rahman–

No comments:

Post a Comment