Mengapa (Selalu) Kartini? - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Sunday, 21 April 2019

Mengapa (Selalu) Kartini?


Oleh : Erika Nofia Pransisca Permatasari
Ilmu Politik 2017
Sumber Foto: Google

Habis Gelap Terbitlah Terang. Mungkin kalimat tersebut sudah tidak asing jika terdengar di telinga kita. Atau mungkin beberapa dari kalian yang membaca tulisan ini justru sudah pernah membaca bukunya? Yap, sebuah pepatah atau kalimat ungkapan tersebut merupakan judul sebuah buku. Jika ditanya, siapa penulisnya? Tentu sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Bahkan nama Sang Penulis nya tersebar di mana-mana, judul lagu misalnya. Hingga tanggal lahir nya pun dijadikan salah satu hari besar nasional yang diperingati setiap tahun. Nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang kerap disapa R.A Kartini. Lahir pada 21 April 1879 atau tepat di hari ini Ia lahir 140 tahun yang lalu.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai sosok R.A Kartini, mari amati lebih jauh mengenai pahlawan-pahlawan wanita nasional. Seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, hingga Cut Meutia. Mereka juga merupakan wanita-wanita yang tidak kalah hebatnya dengan Kartini, yang turut berperang melawan Belanda selama hidupnya hingga wafat mengabdikan diri untuk melawan kolonial. Namun mengapa hanya Kartini yang hari lahirnya diperingati setiap tahun? Apa hanya Kartini yang memperjuangkan emansipasi? Sebetulnya emansipasi bagaimana yang harus dibentuk? Bukankah di dalam Islam derajat wanita lebih tinggi dari pria? Lalu persamaan hak apa yang diperjuangkan? Hingga Kartini saat ini selalu melekat di hati masyarakat Indonesia.

Padahal jauh sebelum Kartini dilahirkan, ada seorang pahlawan wanita yang hingga akhir hidupnya masih berjuang melawan Belanda sampai diasingkan ke Sumedang. Ia adalah Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan wanita yang berasal dari Aceh Besar dan dilahirkan pada 1848. Seorang anak perempuan dari turunan kalangan bangsawan, namun tidak pernah menghiraukan latar belakang keluarganya dan tidak mengurangi semangatnya untuk melawan penjajah. Cut Nyak Dhien yang kala itu berusia 25 tahun dibuat naik pitam oleh pasukan Belanda yang tiba-tiba datang dan membakar Masjid Raya Baiturrahman membuat Cut Nyak Dhien kemudian berteriak:

“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi Budak Belanda?”

Sejak saat itulah Cut Nyak Dhien selalu turun tangan dalam pertempuran melawan Belanda. Setelah pernikahan keduanya dengan Teuku Umar pun Ia tetap gigih berjuang. Hingga ketika Teuku Umar wafat, Cut Nyak Dhien pasang badan menggantikan suaminya itu memimpin perlawanan melawan Belanda bersama pasukan kecilnya dan hancur pada 1901. Hingga Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa oleh Belanda ke Banda Aceh untuk kemudian dibuang ke Sumedang. Di sanalah Cut Nyak Dhien yang menderita rabun tinggal dan menghabiskan sisa hidupnya, hingga wafat pada 6 November 1908. Melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964 kemudian Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Posisi Cut Nyak Dhien sebagai salah seorang pahlawan wanita yang melekat kemudian tergeserkan oleh kehadiran R.A Kartini yang kemudian disebut sebagai pahlawan emansipasi. Perjuangan Kartini memang tidak dapat dipungkiri kehebatannya. Ia yang bercita-cita luhur karena ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi, dan dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Sejarah mengatakan bahwa Kartini hanya berjuang di dalam kamar, menulis berbagai surat yang ditujukan untuk teman wanita Belandanya, bahkan menuntut ilmu pun tidak diizinkan untuk pergi ke Batavia ataupun kuliah di Negeri Belanda. Ia hanya diizinkan menjadi guru dan mendirikan sekolah wanita pertamanya setelah menikah. Setelah Kartini wafat, surat-suratnya dikumpulkan untuk kemudian dijadikan sebuah buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang awalnya berbahasa Belanda. 

Pemikirannya memang mengubah pola pikir masyarakat atas wanita pribumi. Hal ini juga yang menginspirasi W.R Soepratman untuk membuat lagu berjudul "Ibu Kita Kartini" dan atas jasanya Ia diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964. Hari lahirnya juga ditetapkan sebagai Hari Kartini dan diperingati setiap tahunnya.

Setelah membaca lebih jauh, nampak jelas bahwa perjuangan Cut Nyak Dhien tentu lebih besar dan berat karena turun langsung melawan Belanda. Kartini hanya memperjuangkan emansipasi yang dia maksudkan adalah persamaan hak-hak wanita pribumi di mata Belanda. Dilihat lebih jauh lagi, Kartini yang hanya berjuang melalui cita-cita dan surat-suratnya di dalam kamar, mengalahkan seorang Cut Nyak Dhien yang mempertaruhkan nyawanya di hadapan Belanda. Sebagai kaum terpelajar, marilah kits cari tahu kembali pahlawan wanita mana saja yang patut dikenang jasa-jasanya selain Kartini. Tentu tidak pantas bagi kaum seperti kita mengingat pahlawan hanya ketika peringatan hari tertentu saja. Berpura-pura peduli dan mengunggahnya di sosial media. Padahal ketika ditanya siapa pahlawan wanita selain Kartini pun masih bertanya pada 'Si Google' yang serba tahu. Tidak ingatkah kalian pada salah satu kutipan seruan Bung Karno yang biasa disebut “Jas Merah” atau kepanjangan dari Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah? Coba ingat kembali, bahwa pahlawan nasional wanita bukan hanya R.A Kartini.


Penyunting: Sri Hardiani

No comments:

Post a Comment