Senja - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Monday, 4 March 2019

Senja



Semburat jingga mulai nampak, anak-anak yang tadinya asyik bermain mulai kembali ke rumah masing-masing, para pekerja di ladang milik sang juragan juga sibuk berbenah diri bersiap untuk pulang dan bekerja di keesokan harinya. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari surau nan mungil itu, sang muadzin nampaknya sedang tak enak badan karena suara yang ia alunkan terdengar serak dan tertahan. Aku pun bergegas melangkah ke sumur tua yang ada di samping rumah mbah kakung, ya, disinilah aku hidup, hanya berdua bersama dengan mbah kakungku, sudah 3 tahun kami ditinggal mbah putri yang pergi mendahului kami untuk menghadap Sang Illahi Rabbi.

"Jar... Nanti jangan lupa ya, bawa Al-Qur'annya dua, buat kamu satu buat mbah satu" terdengar suara mbah kakung dari dalam rumah,

"iya mbah, ini Fajar mau wudhu dulu" sahutku dari dekat sumur, selepas mengambil wudhu, aku dan mbah kakung pun bergegas ke surau.

Di tengah perjalanan ke surau, mbah kakung berkata, "Jar, kalo nanti besok ada orang yang nyariin mbah, bilang aja mbah ada di ladang,"

"iya mbah," sahutku, sebenarnya aku bingung, kenapa tiba-tiba mbah kakung berkata demikian, namun aku tak mau berpikir macam-macam, mungkin saja orang yang mbah kakung maksud adalah orang yang akan membeli ladang milik kami. Mbah kakung memang berniat menjual ladang yang dimilikinya, meski pun sebenarnya dari sanalah kami menggantungkan hidup, dari hasil ladang yang sebagian kami jual dan sebagian kami nikmati sendiri. Dulu, aku pernah bertanya mengapa mbah kakung harus menjual ladang miliknya, namun tak pernah ada jawaban yang aku terima.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, sejujurnya aku ingin melanjutkan pendidikan ke universitas, ada banyak informasi beasiswa yang aku peroleh dari sekolah, namun, aku berpikir kembali, sanggupkah aku meninggalkan mbah kakung seorang diri? setelah kepergian mbah putri, kami berdua benar-benar kebingungan, kami laksana orang yang tersesat dan tak tahu kemana harus melangkah.

Sedari kecil aku tak pernah tahu dimana kedua orang tuaku berada, mbah kakung dan mbah putri selalu bilang bahwa kedua orang tuaku pergi merantau di saat aku masih berumur 5 bulan dan tak pernah kembali hingga kini. Namun, bagiku kedua orang tuaku sudah mati. Yang aku miliki hanya mbah kakung dan mbah putri, dan kini yang tersisa hanya mbah kakung, jadi aku tak ingin berpisah jauh darinya, biarlah nanti setelah aku lulus sekolah, aku akan mencari kerja di desa, entah sebagai pekerja bangunan atau pun pekerja di ladang.

Sepulang dari surau, kami pun bergegas untuk pulang ke rumah, namun, tak seperti biasanya, mbah kakung menyuruhku untuk pulang terlebih dahulu,

"Jar, kamu balik dulu yo, mbah masih ada urusan sama pak kyai,"

"ndak ah mbah, Fajar nungguin mbah aja," sahutku menolak,

"mbah lama loh urusannya sama pak kyai," ujar mbah kakung lagi,

"ndak apa-apa mbah, besok kan Fajar libur," tolakku lagi,

"yo wis, mbah ke rumah pak kyai dulu, kamu di sini aja," perintah mbah kakung,

"loh kenapa Fajar ndak ikut aja? mbah ndak mau ditemenin Fajar?" tanyaku, aku mulai khawatir, mengapa mbah kakung tidak ingin ditemani,

"udah, manut aja ya jang" ujar mbah kakung lagi, jika beliau sudah berkata begitu, aku tidak bisa mengelaknya, dan akhirnya aku pun menuruti perintah mbah kakung untuk menunggunya di surau.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun mbah kakung belum juga kembali ke surau, aku mulai gelisah, ada apa sebenarnya dengan mbah kakung? apa yang sebenarnya mbah kakung rahasiakan dariku? aku pun memutuskan untuk bergegas ke rumah pak kyai, dan di saat bersamaan mbah kakung muncul dari kejauhan, seraya memanggil namaku, "Jar, Fajar, ayo pulang, mbah udah beres urusannya,"

"iya mbah, Fajar ke sana," jawabku sembari berjalan ke arah mbah kakung,

"kenapa lama mbah?" tanyaku saat sudah berada di dekat mbah kakung,

"iya, tadi ada yang nyariin mbah, mbah kira bakal besok ke sininya, ternyata malam ini," jawab mbah kakung,

"emang siapa mbah?" tanyaku penuh penasaran, "bukan siapa-siapa" jawab mbah kakung, yang membuatku semakin bingung.

....

Suara adzan subuh terdengar, seketika aku pun terbangun, namun aku tak menemukan mbah kakung di sampingku, "ah, mungkin mbah udah ke sumur duluan" gumamku, aku pun bergegas ke sumur untuk mengambil wudhu, namun sesampainya di sumur, tak ku dapati mbah kakung di sana,

"mbah, mbah, mbah dimana?" teriakku memanggil mbah kakung, namun tak ada balasan, aku mulai panik, lalu selepas mengambil wudhu aku pun langsung menuju surau, "mungkin saja mbah kakung sudah ada di sana," harapku.

Harapan tinggal harapan, di surau pun ternyata tidak ku dapati sosok mbah kakung, aku bingung, aku cemas, lalu ku coba tanya satu per satu orang yang ada di surau, namun hasilnya nihil, tak ada seorang pun yang tahu dimana mbah kakung berada, hingga akhirnya ku putuskan untuk terus mencari mbah kakung di sekitaran desa.

Tak terasa, aku sudah mencari mbah kakung hingga sore hari, sang mentari sudah mulai terbenam, namun hingga saat ini belum juga kutemui beliau, aku mulai lelah, perutku belum ku isi sedari pagi, tapi aku tak boleh menyerah, aku harus menemukan mbah kakung sebelum langit mulai gelap, sudah banyak orang yang aku tanyai, namun mereka tak ada yang tahu keberadaan mbah kakung. Hingga akhirnya ku putuskan untuk pulang, dan ketika aku menyusuri jembatan, samar-samar kulihat sesuatu yang mengambang di sungai, tersangkut pohon yang tumbang,

"itu kayak bajunya mbah kakung deh," ujarku seraya memicingkan mata,

dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati sesosok mbah kakung yang sudah terbujur kaku mengambang di sungai, segera ku dekati tubuh renta itu, dengan sisa-sisa tenaga yang ada ku raih tubuh rentanya, dan mencoba untuk melihat kondisinya,

"mbah, mbah, mbah, ini Fajar, mbah, bisa denger ndak suara Fajar? mbah?" tanyaku dengan penuh isak, hatiku sakit, dadaku sesak, pikiranku kalut, orang tua yang aku hormati, satu-satunya manusia yang menjadi tempatku bersandar, kini sudah tiada, kulitnya yang keriput telah membiru, kaku, tak ada lagi hembusan nafas dari lubang hidungnya. Mbah kakung yang aku hormati, mbah kakung yang aku sayangi, telah pergi meninggalkan diriku bersama kesedihan yang tak berperi.

Senja di hari ini menjadi saksi, bahwa aku sudah tak punya siapa-siapa lagi.




Penulis: Yanifa Ramdiatus S, Keuangan dan Perbankan 2017
Penyunting : Ros M

No comments:

Post a Comment