Perempuan Tidak Harus Sarjana - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Tuesday, 12 March 2019

Perempuan Tidak Harus Sarjana



Oleh Indriani Suharyan
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia 2018

Kita pasti sering mendengar pernyataan bahwa perempuan tidak harus kuliah atau sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya ia akan berada di dapur rumah. Sayangnya, pernyataan tersebut masih terus saja dilontarkan bahkan di zaman modern seperti sekarang ini. Jika kalimat tersebut diucapkan ketika zaman penjajahan, sebelum Kartini berkoar untuk emansipasi wanita, itu adalah hal yang wajar. Karena pada saat itu, perempuan memang masih memiliki kedudukan yang rendah dibanding laki-laki, budaya "patriarki" masih berkembang sangat pesat, akibat laki-laki memiliki peranan yang cukup besar dalam perlawanan mengusir penjajah. Pada saat itu, wanita memiliki tugas yang berat untuk mengurus rumah tangganya, menyajikan kudapan untuk para laki-laki yang tengah berjuang meraih kemerdekaan. Hal itu tentu bisa dipungkiri.

Berbeda dengan zaman sekarang, di mana era globalisasi semakin berkembang. Sayangnya, pernyataan tersebut masih terus saja dilontarkan. Budaya "patriarki" memang menempatkan laki-laki sebagai koordinat sementara perempuan sebagai sub koordinat, menjadikan perempuan memiliki tugas lebih ringan daripada laki-laki, hal itu juga dibenarkan oleh "interpretasi" agama (misalnya saja Islam) dan telah menjadi "konvensi" umum di kalangan masyarakat seluruh dunia. Namun, dengan masih melekatnya budaya "patriarki", bukan berarti keinginan perempuan untuk bersekolah tinggi pun dibatasi, apalagi di zaman modern seperti sekarang dan emansipasi wanita telah dicetuskan.

Sebuah pemikiran yang salah ketika seseorang mengatakan bahwa perempuan tidak harus kuliah. Ya, tugas utama wanita memang mengurus rumah tangganya, tetapi bagaimana ia bisa mengurus rumah tangganya terutama anaknya hanya dengan penampilan yang mahal saja? Tanpa otak yang juga mahal. Sadarilah bahwa kepribadian dan "inteligensi" seorang anak terbentuk dari bagaimana seorang ibu mendidiknya. Ketika seorang anak menanyakan sesuatu hal kepada kita sebagai seorang perempuan, akankah kita hanya diam dan berdalih, “Tanyakan saja pada orang lain, karena saya tidak tahu”.

Ingatlah bahwa seseorang yang paling dekat dengan anak adalah ibu. Ketika mereka ragu akan suatu hal, dan bertanya kepada kita (saat menjadi seorang ibu) mengenai hal yang tidak diketahuinya, jauh lebih baik jika kita bisa menjelaskan kepada mereka secara bijaksana. Sehingga, mereka pun akan mampu memahami dan mengembangkan pemikirannya tersebut. Lepas dari semua itu, sebagai seorang perempuan yang mengurus rumah tangganya kelak, kita juga dituntut untuk dapat memberikan solusi-solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi keluarga, menjadi seorang istri yang dapat meredam konflik sekaligus partner bagi suaminya.

Bukankah dalam Islam sendiri menuntut ilmu hukumnya wajib? Tanpa diskriminasi gender bahwa laki-laki dikenakan hukum yang lebih wajib dibanding perempuan. Karena semua orang memang berhak menuntut ilmu, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Jadi, tidak ada pernyataan bahwa perempuan tak harus meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Justru perempuan harus menjadi seorang sarjana, agar kelak ia bisa menjadi seorang istri sekaligus ibu yang berkualitas untuk keluarganya. Selain itu, perempuan yang cerdas juga akan banyak dicari oleh laki-laki di luar sana. Karena mereka tahu sulit untuk mendapatkan perempuan yang bukan hanya mahal dari segi penampilan saja, melainkan juga mahal dari segi karakter dan berpikirnya. 

Zaman sudah semakin maju dan berkembang, "intelektual" seseorang pun telah menjadi suatu kebutuhan. Lantas, masih ingin berkata bahwa perempuan tak harus sarjana?


Penyunting: Yanifa RS

No comments:

Post a Comment