Oleh Ayu Sabrina Barokah
Jurusan Ilmu Politik 2018
Orang gila dituntut di pengadilan, keputusan tidak sah. Orang gila bersaksi di pengadilan juga tidak sah. Kok dalam Pilpres orang gila bisa sah? Begitulah agaknya segelintir pertanyaan yang muncul dari orang waras ketika mengetahui isu tentang orang gila yang memiliki hak suara.
Bermacam isu telah banyak muncul menjelang pesta demokrasi dimulai. Orang gila punya hak suara merupakan satu isu yang terlindungi atas nama Demokrasi. Namun, apakah demokrasi memang memberikan ruang seluas-luasnya untuk warga negara Indonesia menyuarakan pendapatnya, sekalipun orang gila? Demokrasi merupakan salah satu jenis kekuasaan yang digunakan oleh Barat. Demokrasi menurut Barat memang melibatkan banyak orang. Namun, Barat pun berpendapat bahwa demokrasi bukan yang terbaik karena keputusan kebanyakan dari masyarakat belum tentu tepat dan mereka cenderung memutuskan apa yang menurut mereka terlihat paling baik saja.
Dalam hal ini, apakah orang gila termasuk kepada kebanyakan dari masyarakat yang dimaksud? Apakah mereka sama atau setara dengan orang waras? Mari kita berspekulasi. Jika memang orang gila mempunyai hak suara di Pilpres nanti, menjadi masalahkah siapa yang dia pilih? Atau menjadi masalahkah siapa yang terpilih nantinya hanya karena orang gila ikut memilih? Orang gila dan orang waras hanya pikiran yang membatasinya. Orang waras akan memilih berdasarkan banyak pertimbangan, baik dari segi keuntungan untuk publik ataupun dirinya sendiri. Tetapi ketika orang gila memilih kita tidak tahu apa yang mereka pikirkan ketika melihat Jokowi dan Prabowo di surat suara. Lagipula, apakah mereka tahu siapa saja calon presiden kita besok?
Banyak yang harus dipertanyakan mengenai kenapa orang gila bisa memiliki hak suara di kontestasi Pilpres. Sahkah di hadapan demokrasi? Ya, yang menjadi masalah adalah beban publik ketika mereka (orang gila) benar-benar datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebelum mereka beranjak ke bilik suara mungkin akan banyak hal yang terjadi. Bisa jadi, orang gila tersebut tiba-tiba kumat. Anda bisa bayangkan? Orang gila tersebut bisa saja memporak-porandakan tempat pemungutan suara tersebut dan membuat kericuhan serta terganggunya kelangsungan pemungutan suara atau mungkin membahayakan keselamatan banyak orang. Lebih jauh dari itu, jika seperempat Daftar Pemilih Tetap di Indonesia adalah orang gila dan mereka menggunakan hak pilihnya. Maka, seperempat nasib kita ditentukan oleh orang gila.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah ini salah demokrasi? Masih relevankah demokrasi untuk kita gunakan di negara ber-flower ini? Demokrasi adalah tentang semua orang dapat menyuarakan pendapatanya. Namun, demokrasi ini bisa berdampak buruk ketika semua orang benar-benar terlibat dalam menunjang kebijakan publik di sebuah negara dan hal ini disebut sebagai Mobokrasi. Tentang kesetaraan hak dan kewajiban antara orang gila dan orang waras, silahkan pembaca pikirkan setarakah menurut anda antara orang waras dengan orang gila?
Penyunting: Annisa Az Zahra
No comments:
Post a Comment