Jurusan Ilmu Politik 2017
Suatu hari, aroma bunga di pagi hari semerbak mewangi, ibu-ibu saling menyapa sambil menyapu di depan rumahnya, para bapak sedang kerja bakti membersihkan got yang baunya hampir menutupi wangi bunga tadi, anak-anaknya sibuk mengunyah sarapan yang disediakan sebelum ibunya menyapu. Ah... suasana yang sedap dipandang, adegan tersebut adalah adegan yang mungkin terjadi di suatu rukun tetangga di suatu tempat di Indonesia, mungkin sekitar 8 tahun yang lalu. Tapi, semua berubah semenjak kata “tahun politik” menyerang.
Sebenarnya itu adegan yang dirasakan oleh beberapa orang yang merasa ketika pra-tahun politik, keadaan sebelum tahun politik yang semakin hari semakin terasa sedapnya. Ya, adegan yang dibumbui oleh keramahan tetangga, sapa menyapa dan saling membantu. Namun, keadaan warga-warga agak berubah semenjak tahun politik di Indonesia semakin mencapai puncaknya. Semua media berlomba-lomba memberitakan politik dari timses ini lah, jubir itu lah, berita politik jadi macam sinetron aja, kehadirannya ditunggu dan digosipin. Jadilah hampir semua adegan kehidupan di bumbui politik.
Dulu, ibu-ibu beli sayur biasanya ngomongin harga pangan macam cabai, bawang atau pemeran sinetron yang antagonis, tapi sekarang ngomongnya jadi: Saya kasih contohnya ya, “Bu, Ibu milih siapa nanti?” ujar Ibu A bertanya ke Ibu B, Ibu B menjawab, “Ah, saya mah pilih yang ganteng aja deh hihihi.” Ibu A menanggapi, “Oh, berarti yang nomor dua ya.” Dengan cepat Ibu A langsung memberikan justifikasi bahwa Ibu B akan memilih nomor dua, padahal berdasarkan beberapa artikel mengenai ganteng dan sebagainya, disimpulkan bahwa ganteng itu relatif. Jadi, si Ibu B bilang, “Yang ganteng aja deh,” itu relatif. Tapi, karena ada bumbu politik jadilah si Ibu A menjustifikasikan milih nomor dua.
Itu sedikit contoh yang menggambarkan bahwa aroma bunga berganti dengan aroma politik di tahun politik. Walaupun memang tidak semua ibu-ibu seperti itu, tapi itu contoh yang cukup relevan loh. Dari setiap sektor kehidupan sekarang semuanya dibumbui politik. Teman beda pilihan politik dijauhkan, ada tetangga beda pilihan politik dihindari. Apakah manusia-manusia di Indonesia saat ini benar-benar sudah terkontaminasi politik? Padahal di pemilu sepuluh tahun yang lalu atau sekitar tahun 2009, keadaan politik Indonesia tidak sedinamis ini terutama di masyarakatnya. Memang bagus sekarang hampir semua lapisan masyarakat mengetahui keadaan politik Indonesia saat ini, namun terkadang ada yang lupa bahwa rakyat indonesia berada di bawah naungan bendera yang sama, ingat semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkram burung Garuda kan?
Soekarno dan Hatta pun berbeda pemikiran dan arah politiknya, namun mereka tetap saling menghargai perbedaannya, puncaknya terjadi ketika Hatta undur diri dari jabatan Wakil Presiden RI saat itu, namun ketika sang 'Putera Fajar' mulai mendekat kembali ke Yang Maha Kuasa, Hatta tetap datang menjumpainya sebagai seorang sahabat dan orang Indonesia yang ada di bawah naungan bendera yang sama, sang 'Merah Putih'. Lekatnya orang-orang Indonesia dengan politik memang tidak bisa dihilangkan, orang-orang Indonesia ketika berusaha meraih kemerdekaan banyak langkah-langkah politik yang dapat dikatakan cerdas dan tepat sehingga kita dapat merdeka seperti ini.
Manusia Politik, bisa jadi keadaan orang-orang Indonesia saat ini seperti itu, memasukkan semua unsur kehidupan ke dalam politik atau sebaliknya. Keberlangsungan suasana politik seperti ini masih belum dapat ditentukan apakah akan berlangsung lama atau mungkin setelah pemilu selesai semua akan berakhir? Atau semakin panaskah suasananya? Tapi fenomena manusia politik yang disebut di tulisan ini masih bisa terjadi suatu saat nanti, fanatisme, obsesi dan kekuasaan juga kepentingan dapat menjadi faktornya. Kira-kira kalo pendukung paslon satu pas lagi menghitung, angka duanya disebut ga ya. Atau pendukung paslon dua yang bisanya pesan makanan lebih dari satu pas di mekdi. Ah, bahas politik lagi, dasar manusia politik!
Penyunting: Andre
Suatu hari, aroma bunga di pagi hari semerbak mewangi, ibu-ibu saling menyapa sambil menyapu di depan rumahnya, para bapak sedang kerja bakti membersihkan got yang baunya hampir menutupi wangi bunga tadi, anak-anaknya sibuk mengunyah sarapan yang disediakan sebelum ibunya menyapu. Ah... suasana yang sedap dipandang, adegan tersebut adalah adegan yang mungkin terjadi di suatu rukun tetangga di suatu tempat di Indonesia, mungkin sekitar 8 tahun yang lalu. Tapi, semua berubah semenjak kata “tahun politik” menyerang.
Sebenarnya itu adegan yang dirasakan oleh beberapa orang yang merasa ketika pra-tahun politik, keadaan sebelum tahun politik yang semakin hari semakin terasa sedapnya. Ya, adegan yang dibumbui oleh keramahan tetangga, sapa menyapa dan saling membantu. Namun, keadaan warga-warga agak berubah semenjak tahun politik di Indonesia semakin mencapai puncaknya. Semua media berlomba-lomba memberitakan politik dari timses ini lah, jubir itu lah, berita politik jadi macam sinetron aja, kehadirannya ditunggu dan digosipin. Jadilah hampir semua adegan kehidupan di bumbui politik.
Dulu, ibu-ibu beli sayur biasanya ngomongin harga pangan macam cabai, bawang atau pemeran sinetron yang antagonis, tapi sekarang ngomongnya jadi: Saya kasih contohnya ya, “Bu, Ibu milih siapa nanti?” ujar Ibu A bertanya ke Ibu B, Ibu B menjawab, “Ah, saya mah pilih yang ganteng aja deh hihihi.” Ibu A menanggapi, “Oh, berarti yang nomor dua ya.” Dengan cepat Ibu A langsung memberikan justifikasi bahwa Ibu B akan memilih nomor dua, padahal berdasarkan beberapa artikel mengenai ganteng dan sebagainya, disimpulkan bahwa ganteng itu relatif. Jadi, si Ibu B bilang, “Yang ganteng aja deh,” itu relatif. Tapi, karena ada bumbu politik jadilah si Ibu A menjustifikasikan milih nomor dua.
Itu sedikit contoh yang menggambarkan bahwa aroma bunga berganti dengan aroma politik di tahun politik. Walaupun memang tidak semua ibu-ibu seperti itu, tapi itu contoh yang cukup relevan loh. Dari setiap sektor kehidupan sekarang semuanya dibumbui politik. Teman beda pilihan politik dijauhkan, ada tetangga beda pilihan politik dihindari. Apakah manusia-manusia di Indonesia saat ini benar-benar sudah terkontaminasi politik? Padahal di pemilu sepuluh tahun yang lalu atau sekitar tahun 2009, keadaan politik Indonesia tidak sedinamis ini terutama di masyarakatnya. Memang bagus sekarang hampir semua lapisan masyarakat mengetahui keadaan politik Indonesia saat ini, namun terkadang ada yang lupa bahwa rakyat indonesia berada di bawah naungan bendera yang sama, ingat semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkram burung Garuda kan?
Soekarno dan Hatta pun berbeda pemikiran dan arah politiknya, namun mereka tetap saling menghargai perbedaannya, puncaknya terjadi ketika Hatta undur diri dari jabatan Wakil Presiden RI saat itu, namun ketika sang 'Putera Fajar' mulai mendekat kembali ke Yang Maha Kuasa, Hatta tetap datang menjumpainya sebagai seorang sahabat dan orang Indonesia yang ada di bawah naungan bendera yang sama, sang 'Merah Putih'. Lekatnya orang-orang Indonesia dengan politik memang tidak bisa dihilangkan, orang-orang Indonesia ketika berusaha meraih kemerdekaan banyak langkah-langkah politik yang dapat dikatakan cerdas dan tepat sehingga kita dapat merdeka seperti ini.
Manusia Politik, bisa jadi keadaan orang-orang Indonesia saat ini seperti itu, memasukkan semua unsur kehidupan ke dalam politik atau sebaliknya. Keberlangsungan suasana politik seperti ini masih belum dapat ditentukan apakah akan berlangsung lama atau mungkin setelah pemilu selesai semua akan berakhir? Atau semakin panaskah suasananya? Tapi fenomena manusia politik yang disebut di tulisan ini masih bisa terjadi suatu saat nanti, fanatisme, obsesi dan kekuasaan juga kepentingan dapat menjadi faktornya. Kira-kira kalo pendukung paslon satu pas lagi menghitung, angka duanya disebut ga ya. Atau pendukung paslon dua yang bisanya pesan makanan lebih dari satu pas di mekdi. Ah, bahas politik lagi, dasar manusia politik!
Penyunting: Andre
No comments:
Post a Comment