Ide tulisan ini saya dapatkan dari sebuah postingan di Line tentang ”Hopeless Romantically”, yang sudah lama saya baca. Hopeless romantically atau perasaan yang ingin selalu romantis adalah keadaan dimana kita meromantisasi segala keadaan seakan-akan itu adalah cerita fiksi yang kita buat di dalam pikiran kita dan berharap itu terjadi di kehidupan nyata. Karena itu jika kita adalah seseorang yang "hopeless romantic", kita tidak akan berpikir logis. Contohnya, apakah dengan melakukan hal-hal tersebut layak atau tidak, bagaimana jika itu sama saja dengan membuang-buang uang, kita tidak memiliki hal penting lainnya yang harus dilakukan, hanya berpikir dialah orang terpenting dalam hidup kita, dan lain sebagainya. Pertanyaan logis bahkan tidak akan muncul saat kita berada didalamnya, saya lebih suka menyebutnya di dalam "zona". Ketika kita di dalam zona tersebut, apapun atau siapapun tidak ada yang bisa menghentikan kita.
Saya punya beberapa kawan yang gemar curhat atau “berkonsultasi” dengan saya mengenai love life alias kehidupan percintaan. Mulai dari yang PDKT sampai yang sudah mau bubar, semuanya dibahas. Mereka sering meminta perspektif atau nasihat saya tentang kondisi hubungan mereka, walaupun ada juga yang cuma ingin didengar. Ini membuat saya tertawa sendiri, karena mereka meminta nasihat dari orang yang sudah jomblo selama kurang lebih 5 tahun.
Ada teman yang sedang KKN curhat ke saya, bagaimana dia merasa disukai oleh beberapa orang yang baru kenal 1 bulan saja belum. Ada juga teman di UNSIL yang cerita dia merasa ditarik-ulur, padahal tidak ada keterikatan diantara mereka.
Dari semua curhatan mereka, ada satu hal yang membuat “alis” saya naik, yakni betapa mudahnya kita meromantisasi segala hal yang berhubungan dengan perilaku lawan jenis. Kenapa saya berpendapat demikian?
Kebanyakan dari kita sering kali merasa geer atau baper ketika kita berinteraksi atau mendapatkan perlakuan tertentu dari lawan jenis. Diajak makan bareng, geer. Diajak jalan bareng, baper. Diajak ngobrol, geer. Disenyumin, baper . Diajak salaman baper (Ini beneran ada, diajak salaman aja baper). Apakah ini salah? Tentu tidak, ini manusiawi. Namun menurut saya, ini bisa menjadi masalah ketika kita tidak mampu mengontrol emosi.
Saking dimabuk asmaranya, secara tidak sadar kita membangun harapan atau ekspektasi yang terlalu tinggi, Kita berandai-andai akan terjadinya suatu kisah romantis sampai di suatu titik dimana kita lupa, atau bahkan enggan, mempertimbangkan realitas, dan ketika realitas muncul di depan mata, kita sering mengelaknya.
Lalu apa yang terjadi? Biasanya kita bingung, kesal, marah, kemudian melampiaskan emosi ke orang yang bersangkutan. Mereka kita labeli dengan istilah Pemberi Harapan Palsu (PHP), tukang modus, sok ganteng, sok cantik dan sok lainnya. Padahal harapan itu memang tidak pernah ada sedari awal alias cinta fatamorgana. Kalau sudah begini sangat besar kemungkinan hubungan pertemanannya rusak, segala sesuatunya menjadi canggung, kita mencoba untuk menghindarinya sebisa mungkin dan kita akhirnya menjadi kesal, dan itu saya pikir tidak masuk akal dan lucu pada saat yang sama.
Apakah batasan antara teman dan lebih dari teman sudah begitu samarnya sampai sekedar berbuat baik pun di cap modus? Saya melihat tidak ada yang salah jika ada teman laki-laki yang mengantarkan teman wanitanya pulang karena sudah malam. Tidak ada yang salah juga ketika ada teman wanita yang memberikan teman laki-lakinya makanan hasil masakan sendiri. Bukankah itu gunanya teman? Untuk saling menjaga? Kalau bukan, lalu apa? Hanya sebatas lawan bicara? Itu bukan teman, itu namanya kenalan atau relasi (Silakan dihitung kembali ada berapa temanmu, atau jangan-jangan selama ini kita cuma punya banyak kenalan dan relasi, tapi teman nihil?).
Sejak duduk di bangku SD sampai SMA atau bahkan saat kuliah pun masih sering terngiang di telinga kata “ciye!” yang disematkan oleh seisi kelas kepada kita saat ada interaksi dengan lawan jenis (gak selalu tapi sering). Kemudian saya berpikir, trend seperti itu muncul darimana, kenapa sedikit sedikit langsung diromantisasi?
Saya tidak tahu pasti, tapi saya yakin ini erat hubungannya dengan konsumsi media hiburan, entah genre musik, film, sinetron, Tv show, atau literasi. Coba kita pikir ulang, tema apa yang sangat laris untuk anak-anak muda? Tema percintaan. Tema galau. Itu yang laku. Dari musik pop galau, film dengan cerita cinta di Eropa, sinetron kisah asmara antara anak konglomerat dengan tukang bakpau, rom-com tv shows, K-Drama, hingga postingan Instagram pasangan artis yang relationship goal banget, dan yang lainnya. Media tahu betul permintaan penontonnya.
Bagi saya ini sudah cukup untuk merefleksikan bagaimana pandangan kita terhadap romantisme itu terbentuk. Kita diberi sugesti secara terus-menerus bahwa kisah cinta itu menyenangkan dan akan selalu berakhir bahagia (happy ending), yang tidak selalu terjadi seperti itu. Ini yang menurut saya menyebabkan banyak yang terpengaruh fantasi asmara “ala-ala” yang kemudian mendorong mereka untuk segera mewujudkan bahkan memaksakan fantasi tersebut. Hasilnya? Pernah liat orang yang baru kenal, PDKT kilat lalu tiba-tiba langsung berstatus pacaran? Biasanya berakhir dengan konflik dalam kurun waktu yang cepat juga, kemudian galau berminggu-minggu. Atau pernah lihat pasangan anak SD/SMP yang panggilan sayangnya “Ayah Bunda”? Geli bukan.
Begitu pun dengan kita yang (nyaris) dewasa, dengan mudahnya mengumbar kalimat “I love you”.
Bro dan sista, cinta adalah kata yang sangat kuat, dan kita tidak boleh mengeksploitasi atau mengkhianati integritas kata itu. Cinta tidak muncul dengan sendirinya secara ajaib. Cinta dikembangkan, itu perlu dipupuk dengan kepercayaan timbal balik, komunikasi yang konstan dan kemauan untuk bernegosiasi. Dan itu butuh waktu. Ini proses yang panjang, lambat, dan berantakan. Itulah mengapa saya pikir ide cinta pada pandangan pertama hanyalah konsep patologis. Kekaguman atau ketertarikan seksual pada pandangan pertama. kita tidak sering jatuh cinta, kita sering tertarik secara seksual kepada orang lain.
"Jadi, bagaimana kita menjaga atau mengontrol perasaan kita?" Seorang teman bertanya. Jawabannya adalah saya tidak tahu. Lagipula saya bukan ahli dalam hal ini. Mungkin kita harus mencoba mengevaluasi kembali emosi kita lebih sering. Tanyakan pada diri kita apakah perasaan yang sedang dirasakan asli atau tidak. Mungkin kita terlalu banyak mengonsumsi K-Drama? Mungkin kita hanya merasa kesepian dan butuh teman? Atau mungkin kita hanya ingin menikmati adrenalin berada di masa depan, hubungan imajiner, tetapi kita sebenarnya tidak merasakan cinta, apa yang kitaa rasakan hanya kegembiraan saat bersama seseorang?
Jangan malas dan culas saat mengkritisi perasaan sendiri. Kita mengetahui perasaan kita lebih baik daripada orang lain!.
Terakhir, coba untuk berhenti egois dan meromantisasi segala macam kebaikan yang ditujukan kepada kita, dan juga kebaikan yang kita tunjukkan ke orang lain. Hanya karena mereka baik kepada kita, tidak berarti mereka menyukai kita. Begitu juga sebaliknya, hanya karena kita baik pada mereka, bukan berarti mereka berutang hubungan. Dan ketika kita menyadari fakta bahwa perasaannya tidak saling menguntungkan, jangan salahkan mereka untuk itu. Evaluasilah diri kita dan jangan menutupi penilaian kita dengan emosi yang ada. Saya tidak mengatakan itu salah, saya mengatakan itu bukan hal yang paling bijaksana yang dapat kita lakukan untuk seseorang.
Jadi apakah kamu seorang “hopeless romantically”?
Sumber ide : Line
Sumber lainnya : https://www.galena.co.id/q/apa-itu-perasaan-selalu-ingin-romantisme-hopeless- omantic-dan-apa-rasanya-mernjadi-seperti-itu
Penulis : Trescha Ramadhan, Agribisnis 2017
Penyunting: Roslina M
No comments:
Post a Comment