Setiap mahasiswa mempunyai lukanya
masing-masing terhadap permasalahan yang terjadi di kampusnya, daerahnya,
bahkan di negaranya. Hal lumrah itu wajar terjadi sehingga banyak diskusi
santai menimbulkan satu kritik membangun untuk segera dilakukan. Mahasiswa
sejatinya adalah Agent Of Control Social,
akan terasa begitu berat ketika disandingkan bahwa mahasiswa adalah Agent Of Change.
Mahasiswa menjadi hal yang begitu
menilik perhatian ketika rezim Orde Baru berlangsung, dipersiapkan selama
sepuluh tahun oleh para aktivis, membicarakan banyak hal untuk mengkritisi
rezim yang “katanya” laknat itu, hingga pecah di tahun 1998 dan menimbulkan
rezim baru yaitu Rezim Reformasi. Mahasiswa saat itu ialah Agent Of Change, sangat luar biasa ketika mahasiswa saat itu melakukan
perubahan, dengan rasa persatuan dan merasa bahwa harus ada perubahan dari satu
kesalahan rezim ini.
Tak semena-mena mahasiswa berdemo
memporak-porandakan DKI Jakarta saat itu. Semua berkat kritisi mereka yang
merasa bahwa mereka adalah Agent Of Control
Social sehingga mereka menyatukan tujuan untuk perubahan, bahwa hal yang
tidak baik ini perlu diubah menjadi baik, bahwa kebebasan berpendapat perlu
untuk pembangunan yang nyata, bukan yang bersuara maka mati.
Mahasiswa pernah menjadi elemen kekuatan
politik yang mampu bersatu dengan rakyat dan citivas akademika untuk
bahu-membahu meruntuhkan Jendral Soeharto. Pada masa-masa sebelum itu pun para
golongan muda memang benar-benar di bawah kobaran semangat perjuangan untuk
NKRI yang lebih baik lagi. Tak heran jika pada jaman dahulu, generasinya
dipenuhi oleh orang-orang hebat di Indonesia saat ini, meskipun pada akhirnya
uang menjarah idealismenya hingga orang yang pernah hebat itu menjadi penjahat.
Mungkin saja, kita saat ini pada masa depan akan menjadi penjahat. Itulah
mengapa Pancasila sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, agar kita beriman
dan menjaga keimanan kita untuk senantiasa menjadi baik.
Adapun yang terjadi di Univeristas
Siliwangi (UNSIL) kini mahasiswa menjadi perhatian besar akan sebuah kata
menyakitkan, yakni apatis. Sejak awal kekosongan jabatan di Organisasi
Mahasiswa (ormawa) tingkat universitas, mahasiswa UNSIL dilanda krisis jiwa
kepemimpinan, digembor-gemborkan (mungkin) di setiap fakultas, di kelas-kelas,
bahwa, masa iya gak ada mahasiswa yang
siap jadi pemimpin di ranah universitas. Setelah drama kekosongan jabatan
berakhir, musyawarah mahasiswa di berbagai jurusan, fakultas hingga Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) pun berjalan, bahkan pemilihan Rektor baru untuk
universitas ini.
Empat calon Rektor UNSIL ini membuktikan
semangat dari jiwa yang sudah tua itu lebih membara untuk berkompetisi
dibanding ranah mahasiswa sendiri. Kemauan serta kesadaran diri untuk merasa
siap menjadi calon pemimpin sudah tertera sejak muda bahkan hingga tua. Lain
cerita dengan ranah mahasiswa yang masih saja bertahan pada tahap aklamasi atau
calon tunggal di beberapa pemilihan ketua, entah itu di jurusan, fakultas,
hingga UKM.
Bahkan calon Ketua Badan Legislatif Mahasiswa
Universitas Siliwangi pun tunggal. Sebenarnya memang bukan hal baru seseorang
enggan berkutat di ranah legislatif, selain sepi peminat, faktanya legislatif
merupakan organisasi yang miskin, dimana dana yang terbagi antara Badan
Legislatif Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa biasanya akan lebih besar
diserahkan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai organisasi yang biasa
mengadakan kegiatan itu. Padahal peran BLM ini sangat besar untuk berjalannya
roda organisasi antara keduanya, dimana mereka yang merancang serta menyetujui
anggaran yang akan dikeluarkan untuk setiap kebutuhan, melakukan pengawasan di
tiap kegiatan, membuat atau mengamandemen suatu produk hukum hingga menjadi
wadah aspirasi mahasiswa serta bertindak atas aspirasi mahasiswa itu sendiri.
Entah mengapa serendah itu minat mahasiswa
untuk memimpin suatu organisasi. Padahal tidak ada yang salah dalam sebuah
persaingan. Namun, selalu ada alasan yang “katanya” pilihan terbaik yang
menjadikan tidak murninya sebuah demokrasi yang terjadi di kampus. Kebusukan
inilah yang membuat banyak ketakutan untuk siapapun maju ke ranah “sebagai
ketua” dan memilih bergerak sebagai buntut organisasi.
Tidak ada yang salah dalam sebuah
pemetaan politik, semua adalah hal yang wajar bahkan mungkin di semua tempat
perlu adanya pemetaan agar konstelasi politik yang terjadi dapat berjalan
dengan tenang. Namun yang salah dari sebuah pemetaan yang terjadi ialah
perasaan takut untuk naik ke puncak karena seekor singa lapar yang menunggu di
pertengahan jalan, dengan kata lain tidak persiapan yang cukup untuk membawa
makanan siap santap agar Sang Singa tak menerkam begitu saja. Kepantasan diri
yang dirasa kurang namun tidak ditanam agar berbuah dan dibiarkan begitu saja
adalah suatu kesalahan.
Keberanian untuk berpetualang mencari
pengalaman terlalu biasa terjadi di kampus ini, organisasi hanya dijadikan alat
eksistensi tanpa ada esensi untuk perubahan. Padahal negara ini sedang
membutuhkan jiwa muda untuk memperbaiki kebobrokan di bangsa tercinta ini.
Selain itu, terlalu banyak bicara di bawah tanah mengomentari pemimpin yang
duduk di singgasana kepemimpinan adalah faktor yang mungkin saja jadi penyebab
ketakutan mahasiswa berada di kuncup kekuasaan.
Seharusnya sejak awal menjadi mahasiswa,
para kakak tingkat telah memberikan penekanan mental kepada adik-adiknya agar
siap bersaing dan diajak membangun relasi yang baik, karena komunikasi yang
baik inilah dapat membangun keberanian mahasiswa untuk menjadi seorang
pemimpin. Kritik – kritik yang membangun diperlukan yang bukan hanya ngopi santai membicarakan aib seorang
pemimpin tanpa memberi wujud nyata kontret bahkan beraspirasi untuk kemajuan
sebuah kepemimpinan.
“Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”,
pepatah inilah yang perlu dipahami bahwa jika sebuah kepemimpinan ingin
berjalan baik, maka harus membangun relasi yang baik serta telah melakukan
proses yang baik untuk menjadi pemimpin. Ada di lingkungan yang baik dapat
membuat seseorang juga menjadi baik, namun juga perlu rasa ingin tahu agar
selalu belajar untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi.
Seorang pemimpin harus bisa menjadi
kawan yang dipimpinnya, maka pemimpin perlu bersikap hangat kepada
lingkungannya namun tetap tegas. Mahasiswa harus berani bersuara menyampaikan
aspirasinya. Tidak ada mahasiswa yang benar-benar apatis. Mereka hanya tak
berani untuk mengungkapkan pendapatnya, bahkan untuk sekedar berkata bahwa ini
baik atau ini tidak baik. Pemimpin pun harus bisa mengapresiasi dengan baik
tiap aspirasi yang mereka dapatkan, bukan menutup telinga dan menutup mata
hingga menahan langkah kaki untuk terus bergerak lebih baik.
Aklamasi yang terjadi terus-menerus ini
jangan biarkan menjadi suatu budaya, pada sistem yang demokrasi dan bebas
berpendapat ini, semua orang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin dan
berhak dipilih. Jangan hanya menjadi robot yang selalu siap melayani tuannya.
Setiap mahasiswa berhak untuk menjadi dirinya sendiri, yang orang-orang yang
membunuh karakter mahasiswa berhak untuk mendapat hukum kausalitas terhadap
dirinya sendiri karena telah membiarkan orang lain tersudut, terasingkan hingga
mengasingkan diri hanya karena menjadi dirinya sendiri.
“Mereka Gugur Bukan Karena Apatis, Tapi Karena Suaranya Gugur Ditelan Kuasa. Sesimpel Itu, Bung!” (Iftihal Muslim Rahman)
No comments:
Post a Comment