Sulitnya Perempuan
Menjadi Perwakilan Rakyat
Perempuan sering kali menjadi alat berpolitik kaum adam, bahkan perempuan dianggap tidak berpengaruh dalam membuat kebijakan yang di dalamnya adalah perihal wanita. Hal tersebut sering terjadi dalam paradigma rakyat Indonesia. Bahkan sudah menjadi hal yang lazim dengan kalimat “Laki-laki Adalah Pemimpin,” padahal dalam perwakilan, perempuan perlu masuk dalam sistem pembuat kebijakan.
Akan menjadi pertanyaan besar, bahwa masalah perempuan dibuat kebijakannya oleh laki-laki. Sedangkan masalah tersebut harusnya diselesaikan bersama perempuan sebagai penyuara pembuat kebijakan. Bukan hal yang mudah dalam merubah paradigma masyarakat terhadap perempuan yang tidak bisa atau sia-sia masuk ke dalam sistem tersebut.
Perlu ditekankan, bahwa perempuan bukanlah objek semata dalam kebijakan, perempuan perlu ikut serta dalam pelayanan publik sebagai perwakilan perempuan. Bukan membawa perempuan sebagai makhluk yang lemah, namun paradigma yang terbentuk dalam masyarakatlah yang pada akhirnya menitikberatkan perempuan untuk lebih dilindungi daripada laki-laki.
Faktor yang mempengaruhi perempuan tidak dipercaya adalah faktor budaya, faktor keluarga dan faktor agama. Jelas peran keluarga sangat penting dalam kepercayaan ini, karena hingga zaman sekarang ini pun pendidikan untuk perempuan lebih terbelakang daripada orang tua yang mempunyai anak laki-laki. Lebih dari itu kesenjangan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam satu keluarga.
Pula dalam agama yang di dalamnya laki-laki adalah pemimpin, sedangkan haram bagi perempuan menjadi pemimpin. Padahal hal tersebut bisa saja sebagai salah penafsiran, karena perempuan pun mempunyai hak yang sama, bahkan jika dipahami lebih lagi dalam agama, bahwasannya sebaik-baiknya pemimpin ialah yang bisa memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu.
Kedua faktor itulah yang pada akhirnya memperkuat faktor budaya untuk terus tumbuh dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, karena dalam pengajaran agama dan keluarga pun sudah disertamertakan demikian.
Bahkan pada zaman dahulu pun perempuan hanya menjadi budak, pun hak yang dimiliki perempuan lebih dibatasi daripada laki-laki. Perlu adanya kesetaraan gender, bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, meskipun ada batasan tersendiri. Namun, budaya harusnya tidak menelantarkan atau mengasingkan hak perempuan yang mestinya dilindungi.
Menurut teori ketergantungan dijelaskan, bahwa suatu kesalahan terjadi akibat hubungan dalam masyarakat. Berhubungan pula dengan teori sumber daya manusia, bahwa keterbelakangan manusia bersumber pada faktor-faktor intern negara atau masyarakat itu sendiri.
Maka perempuan yang tertindas ini erat kaitannya dengan hubungan dalam masyarakat, dalam negara pun keterbelakangan ini akibat masyarakat itu sendiri. Jelas dalam teori pembangunan bahwasannya semua ini harus diperbaiki dari individu masing-masing yang kemudian akan menjadikan paradigma dalam masyarakat berubah.
Caranya merubah paradigma yang terjadi turun-menurun di Indonesia misalnya, dapat diubah dengan pendidikan dalam masyarakat yang lebih mendalam karena sesungguhnya pendidikan akan merubah perilaku, mekanisme dalam organisasi atau lembaga di Indonesia yang perlu diperbaiki, harus saling menjalin relasi atau hubungan yang baik, yang terpilih sebagai wakil bisa diamanahi oleh rakyat (pada dasarnya pemilihan umum yang baik akan menghasilkan wakil rakyat yang baik dan wakil rakyat yang baik akan menghasilkan kebijakan atau produk hukum yang baik pula) dan yang paling penting adalah kembali pada setiap individu yang MAU atau TIDAK untuk berubah, untuk menjadikan kehidupan yang ideal.
Meskipun pada hakikatnya tidak ada yang sempurna, namun yang mendekati sempurna selalu ada, asalkan ada kemauan untuk tetap terarah pada jalan yang lebih baik. Tuhan pun tidak akan membiarkan hambanya terus menderita atau kesulitan. Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, yang terpenting adalah percaya dan terus berusaha.
Faktor yang mempengaruhi perempuan tidak dipercaya adalah faktor budaya, faktor keluarga dan faktor agama. Jelas peran keluarga sangat penting dalam kepercayaan ini, karena hingga zaman sekarang ini pun pendidikan untuk perempuan lebih terbelakang daripada orang tua yang mempunyai anak laki-laki. Lebih dari itu kesenjangan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam satu keluarga.
Pula dalam agama yang di dalamnya laki-laki adalah pemimpin, sedangkan haram bagi perempuan menjadi pemimpin. Padahal hal tersebut bisa saja sebagai salah penafsiran, karena perempuan pun mempunyai hak yang sama, bahkan jika dipahami lebih lagi dalam agama, bahwasannya sebaik-baiknya pemimpin ialah yang bisa memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu.
Kedua faktor itulah yang pada akhirnya memperkuat faktor budaya untuk terus tumbuh dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, karena dalam pengajaran agama dan keluarga pun sudah disertamertakan demikian.
Bahkan pada zaman dahulu pun perempuan hanya menjadi budak, pun hak yang dimiliki perempuan lebih dibatasi daripada laki-laki. Perlu adanya kesetaraan gender, bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, meskipun ada batasan tersendiri. Namun, budaya harusnya tidak menelantarkan atau mengasingkan hak perempuan yang mestinya dilindungi.
Menurut teori ketergantungan dijelaskan, bahwa suatu kesalahan terjadi akibat hubungan dalam masyarakat. Berhubungan pula dengan teori sumber daya manusia, bahwa keterbelakangan manusia bersumber pada faktor-faktor intern negara atau masyarakat itu sendiri.
Maka perempuan yang tertindas ini erat kaitannya dengan hubungan dalam masyarakat, dalam negara pun keterbelakangan ini akibat masyarakat itu sendiri. Jelas dalam teori pembangunan bahwasannya semua ini harus diperbaiki dari individu masing-masing yang kemudian akan menjadikan paradigma dalam masyarakat berubah.
Caranya merubah paradigma yang terjadi turun-menurun di Indonesia misalnya, dapat diubah dengan pendidikan dalam masyarakat yang lebih mendalam karena sesungguhnya pendidikan akan merubah perilaku, mekanisme dalam organisasi atau lembaga di Indonesia yang perlu diperbaiki, harus saling menjalin relasi atau hubungan yang baik, yang terpilih sebagai wakil bisa diamanahi oleh rakyat (pada dasarnya pemilihan umum yang baik akan menghasilkan wakil rakyat yang baik dan wakil rakyat yang baik akan menghasilkan kebijakan atau produk hukum yang baik pula) dan yang paling penting adalah kembali pada setiap individu yang MAU atau TIDAK untuk berubah, untuk menjadikan kehidupan yang ideal.
Meskipun pada hakikatnya tidak ada yang sempurna, namun yang mendekati sempurna selalu ada, asalkan ada kemauan untuk tetap terarah pada jalan yang lebih baik. Tuhan pun tidak akan membiarkan hambanya terus menderita atau kesulitan. Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, yang terpenting adalah percaya dan terus berusaha.
Penulis : Iftihal Muslim Rahman
No comments:
Post a Comment