OPINI: OSPEK - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Monday 5 September 2016

OPINI: OSPEK


Seorang pakar konseling menulis sebuah puisi tentang pendidikan seseorang sekitar 62 tahun yang lalu. Jika kita lihat tulisan Darothy Law Nolte mungkin kita berfikir ternyata ini semua sudah terjadi jauh sebelum abad ke-20. Mungkinkah OSPEK yang kita lakukan tanpa kekerasan? Hal ini menjadi masalah krusial yang selalu menjadi perdebatan hangat setiap mahasiswa. Mungkinkah hal yang “pernah” kita rasakan berubah menjadi sebuah acara yang lebih “santun” dan juga “mencerdaskan” tanpa harus melakukan kekerasan? Mungkinkah?

Masih sangat banyak pertanyaan tentang OSPEK, baik itu dikalangan mahasiswa atau bahkan para pemerhati pendidikan. Apakah OSPEK ini masih relevan dilaksanakan di era post-Modern ini? Siapkah kita menangguh masalah psikis para peserta OSPEK? Mengapa OSPEK ada? Bagaimanakah awal mula adanya OSPEK? Apakah OSPEK di mindset kita bisa berubah dari yang “kekerasan” menjadi “mencerdaskan”?

Jika menjawab diskusi-diskusi panjang di atas maka kita kaitkan dengan sejarah OSPEK itu sendiri. Gie adalah seorang mahasiswa seperti kita, mahasiswa di era-Soekarno. Gie menuliskan kekesalan dan kekecewaannya pada OSPEK di kampusnya. Dia juga menceritakan sejarah awal OSPEK yaitu dimulai dari adanya kegiatan perpeloncoan sekelompok Mahasiswa Belanda terhadap Mahasiswa Pribumi yang masuk di kalangan elit kampus di zaman Van De Venter. Selain untuk menunjukkan senioritas, perpeloncoan ini juga menunjukkan dominasi Belanda terhadap Pribumi. 

Maka dalam buku hariannya yang sekarang di kenal “Catatan Seorang Demonstran” mengecam kegiatan keras dan penindasan di kampusnya. Menurutnya, meneruskan tradisi OSPEK dengan cara perpeloncoan sama dengan meneruskan penghinaan Belanda terhadap Indonesia. Kita selalu meneruskan budaya yang asing, lugu, dan mengikuti tradisi “pembodohan-pembodohan” secara terang-terangan. Sementara Amerika, Rusia, Jepang dan sederet negara besar lainnya telah meninggalkan cara kuno seperti ini. Kini mereka sibuk menerbangkan pesawat-pesawat canggihnya keluar angkasa. Bagaimana dengan kita?

Maka hentikanlah pembodohan-pembodohan ini.

Apakah kita berfikir bahwa mahasiswa baru itu datang dengan isi kepala kosong yang “harus” di cucuk hidungnya dan giring kearah yang diinginkan? Apakah harus diisi dengan segala “teori-teori” kekompakan? Apakah kita tidak bisa berfikir dewasa dan menerima orang-orang dewasa yang datang?

Terdengar lucu ketika dalam rapat formal dan forum-forum lainnya beberapa orang membenarkan hal tersebut dengan alasan demi kekompakan mereka atau perlunya menekan mereka agar merasa senasib sepenanggungan. Padahal dalam forum informal tergambarkan tujuan-tujuan sebenarnya, “Biar mampus lo! Ha..ha..ha..”. Bukankah ini sebuah kebohongan yang diselimuti dengan teori-teori manis seperti kekompakan dan kedisiplinan?

Tidak dapat disangkal bahwa tekanan fisik akan membuat seseorang hancur egonya dan merasa

senasib sepenanggungan. TAPI, apakah tidak ada cara lain selain fisik?

Tidak dapat disangkal pula bahwa hukuman itu perlu dilaksanakan agar orang tidak melanggar

peraturan. Tapi apakah perlu dengan cara berteriak? Apakah perlu dengan membentak-bentak setiap hari? Apakah itu perlu? Apakah itu harga mati? Agar seseorang takut atau jera'kah? 

Tidak dapat disangkal pula bahwa tugas-tugas yang diberikan akan membentuk pola kesigapan. Kesigapan yang nantinya akan sangat berguna dalam menempuh lika-liku kuliah. Namun apakah tidak ada cara lain untuk membuat etos kerja seseorang meningkat?

Masalah ini begitu rumit jika kita berpikir terlalu teoritis dan hanya bersandar pada “BUDAYA TERDAHULU” . Kita harus keluar dari pemikiran-pemikiran dangkal nan lugu yang selalu digunakan setiap OSPEK ini. Out of the Box. Ya! Kita butuh perubahan. Bukan perubahan yang besar, tapi perubahan dari diri kita sendiri. 

Sebuah kedisiplinan, kekompakan dan etos kerja yang baik bukanlah tugas sebuah acara OSPEK yang MAHA besar ini. Semua sifat itu tumbuh dari sebuah kata yang bernama “KELUARGA”. Bagaimana bisa? Silakan samakan sifat ANDA dengan kedua orang tua ANDA sendiri. Kita meng-copy paste hampir semua sifat orang tua kita. Diantara ribuan sifat tersebut, hanya beberapa saja yang hilang. Tugas sebagai senior itu seharusnya membimbing seperti “KELUARGA”, bukan menindas seperti “PENJAJAH”. 

“OSPEK ini agar melatih kesopanan dengan kakak tingkat,” seolah menjadi kalimat yang diucapkan untuk membela OSPEK dengan kekerasan. Bisakah kita bercermin kepada diri kita sendiri dan membuat pernyataan, “Apakah kita lebih menghormati dan akan lebih sopan kepada senior yang membentak? Itu sebuah kehormatan dan kesopanan kepada senior atau sebuah rasa takut?” Sejatinya, kita akan dihormati jika kita bisa membimbing tanpa kekerasan. Kita hanya mencari cara yang lebih terlihat elegan, praktis dan ekonomis walaupun tidak benar dan mencari dalih untuk membenarkannya dan menyandangkan bahwa ini adalah “KEADILAN”. Kita diperlakukan dengan keras di OSPEK dan adik kelas harus merasakannya. Apakah itu yang disebut KEADILAN? 

Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,

Sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran..

Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peuli dan rapihnya,betapapun efesien harus direnofarmasi atau dihapuskan jika tidak adil... ~John Rawls, Teori Keadilan.

Kekerasan bukan satu-satunya jalan.

Tugas utama seorang senior itu membimbing kepada yang benar. Itu saja, bukan memaksa setiap kebenaran yang menurut sudut pandangnya “itu benar”. Setiap orang memiliki persepsi mengenai kebenarannya masing-masing. 

Mungkinkah OSPEK berubah? Berubah menjadi lebih baik? Berubah dari rasa takut menjadi antusiasme? Berubah dari penindasan kepada penghargaan? Berubah dari perpeloncoan (dengan apapun kedoknya) menjadi wahana penyambutan dan pendidikan yang mencerdaskan, mencerahkan dan mengutuhkan? Berubah menjadi tempat sebuah keluarga besar yang saling asah, asih, asuh? Apakah kita bisa mengubah OSPEK hari ini menjadi lebih baik? 

Yakinlah bahwa angin perubahan sudah bertiup kencang, dan kita semua bisa menjadikan segalanya lebih baik.

Jika seseorang dibesarkan dengan celaan, la belajar memaki.

Jika seseorang dibesarkan dengan permusuhan, la belajar berkelahi.

Jika seseorang dibesarkan dengan ketakutan, la belajar gelisah.

Jika seseorang dibesarkan dengan rasa iba, la belajar menyesali diri.

Jika seseorang dibesarkan dengan cemoohan, la belajar rendah diri.

Jika seseorang dibesarkan dengan lri hati,la belajar kedengkian.

Jika seseorang dibesarkan dengan dipermalukan, la belajar merasa bersalah.

Jika seseorang dibesarkan dengan dorongan, la belajar percaya diri.

Jika seseorang dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri.

Jika seseorang dibesarkan dengan pujian, la belajar menghargai.

Jika seseorang dibesarkan dengan penerimaan, la belajar mencintai.

Jika seseorang dibesarkan dengan dukungan, la belajar menyenangi diri.

Jika seseorang dibesarkan dengan pengakuan, Ia belajar mengenali tujuan,

Jika seseorang dibesarkan dengan berbagi, la belajar kedermawanan.

Jika seseoreng dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, Ia belajar kebenaran dan keadilan.

Jika seseorang dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan.

Jika seseorang dibesarkan dengan ketenteraman, la belaiarberdamai dengan pikiran.

dan Jika seseorang dibesarkan dengan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.




(Dorothy Law Nolte dalam Seseorang Belajar dari Kehidupannya)

*telah dirubah dari karya aslinya..




Pengirim: Abdul Basith Zaki

No comments:

Post a Comment