Penulis:
Camelia Badiah (FKIP - Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015)
Matahari sudah berada pada ketinggian maksimal.
Panasnya mulai masuk menyebar ke dalam kaos hitam yang sedang aku pakai. Aku melintas sambil melihat sekeliling orang
yang tengah menunggu bis datang.
Tampak jelas di mataku seorang kakek yang
sudah berumur – bisa dibilang sangat renta, tengah menjajakan es tebu dengan
gerobak yang didorong oleh kakek itu. Terlihat keriput di bawah garis matanya
yang mungkin sudah sedikit tersembunyi di balik kaca mata yang tidak tahu sudah
berumur berapa tahun.
Sempat terlintas dipikiranku, ‘Masih adakah,
seorang anak yang rela melihat seorang kakek tua mendorong sebuah gerobak yang
sangat terlihat sangat berat jika didorong oleh kakek itu?’ Pertanyaan itu bisa
dijawab dengan sekedip mata, ‘Ya’. Dengan keringat peluh yang sudah tertutupi
oleh kulit yang mulai menghitam dan menua karena dimakan oleh usia.
Entah atas dasar dorongan dari angin mana, kakiku
melangkah mendekati seorang kakek itu yang sekarang tengah duduk di pinggir
pagar pembatas sebuah gedung besar yang berdiri tepat di sebuah halte.
“Kakek, saya pesan 1 ya, es tebu,” Sangat
tergambar jelas di wajah kakek itu seulas senyum sumringah. Dengan cepat kakek
itu berdiri dan membuat es tebu yang aku pesan. “Siap, nak,”
Dengan sigap dan dalam waktu singkat, es yang
aku pesan sudah ada di depan mata. “Makasih, kek,”
Sambil menyeruput es dingin yang di pegang
olehku, pandangku sejenak melihat ke badan kakek itu yang terlihat kurus di
balik pakaian yang sangat sederhana. “Waktu saya seperti kamu badan saya
berotot, loh, nak,” ucap kakek itu pelan.
Aku hanya bisa melongo mendengar apa yang
dikatakan kakek itu. Ingin rasanya tertawa tetapi tidak sopan. “Tapi sekarang,
jaman sudah sangat berubah. Setiap orang sudah tidak ada yang ingat kejadian
beberapa puluh tahun yang lalu.” Kakek itu menghadap lurus ke jalan dengan
senyuman miris.
Dengan rasa ingin tahu aku menanyakan apa
maksud kakek itu berbicara seperti orang yang tahu asal – usul masa lalu. “Kami
merasa tidak dihargai. Padahal dengan perjuangan dan jerih payah kamilah bangsa
dan gedung – gedung tinggi ini bisa berdiri di sini.”
“Kakek bagian dari pahlawan veteran?” sontak
Aku bertanya. Kakek itu hanya mengangguk.
Alasan yang sudah sangat jelas, mengapa
pahlawan veteran banyak yang tidak mendapatkan tempat yang layak dan
penghargaan yang patut didapatkan oleh mereka – termasuk kakek ini, pemerintah
yang seolah tidak peduli dengan perjuangan di balik nama – nama besar yang
terpampang jelas di dinding sekolah bahkan situs pencarian internet. Mereka
hanya bisa membuang jauh – jauh pengharapan itu. Hanya segelintir orang yang
tahu bahwa mereka adalah pahlawan yang rela melawan penjajahan bahkan dengan
banyak darah yang dikeluarkan oleh mereka. Banyak materi dan juga tenaga yang
keluar dengan peluh keringat.
Sekarang. Kakek itu hanya bisa meratapi
hidupnya yang hanya sendiri, bahkan saudara – saudara jauh yang tahu dengan
kakek ini, tidak ada keinginan penuh untuk merawatnya. Alasannya, mereka hanya
terus – menerus bercerita tentang perjuangannya di tanah yang menjadi saksi
bisu perjuangan kakek tersebut.
“Kenapa harus berjualan ini, kek?”
“Hanya ini yang bisa kakek jual. Bahkan diri
kakek pun tidak laku kalau dijual,” Kakek itu mengatakan dengan nada sangat
miris di hatinya. Miris dengan keadaannya yang hanya sendiri. Dengan pikiran
untuk bisa hidup dengan es tebu itu pun sudah sangat melegakan.
Aku menarik napas. Sesekali mengangguk entah
karena apa. Respon yang aku berikan hanya untuk membuat kakek itu tersenyum.
Bukan karena aku tidak peduli, tetapi aku masih belum mengerti dengan keadaan
sekarang ini. Masih ada pahlawan yang di sia –siakan perjuangannya oleh bangsa
yang besar karena keringat mereka. Bukankah pepatah ada yang mengatakan bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya. Banyak tulisan itu terpampang jelas
dengan baliho atau spanduk saat hari pahlawan 10 November.
Kakek itu menghentikan lamunanku dan
tersenyum. “Tidak usah dipikirin hal yang tidak penting, nak. Jalan pikiran
orang sekarang sudah berbeda dengan pikiran orang jaman dulu, ya kan?” kakek
itu tertawa sambil menerima uang yang aku berikan untuk membayar semua jasa
yang telah dia torehkan untuk membesarkan bangsa yang banyak berhutang budi
dengannya. Rasanya uang itu pun tidak ada harganya dengan apa yang diberikan
kakek itu.
Kakek itu meninggalkan tempat kami berbincang,
menceritakan semua mengenai perjuangannya demi bangsa ini. Dari belakang
badannya yang lemah masih bisa menjajakan dagangannya untuk dia hidup. Sebuah
harta berharga yang dimiliki oleh bangsa ini tetapi tidak dilestarikan dengan
semestinya. Padahal, Cameo juga sangat berperan penting dalam
sebuah film. Sudah bisakah bangsa ini di sebut sebagai bangsa yang besar, jika
seorang yang mengelu – elukan bangsanya tidak menghargai setiap orang yang
berada pada proses menuju kata besar itu?
No comments:
Post a Comment