Ada Udang di Balik Batu. Mungkin itu peribahasa yang tepat dalam memaknai film dokumenter yang dirilis oleh tim Watchdoc. Satu tahun waktu yang dibutuhkan oleh tim Ekspedisi Indonesia Biru untuk menjelajah Indonesia dimulai dari Suku Baduy Dalam dan diakhiri di tempat di mana semua dimulai dan mendokumentasikan semua kegiatannya dalam bentuk karya jurnalistik. Film dokumenter terbaru yang dikeluarkan oleh Watchdoc, yang berjudul Sexy Killers membahas asal usul energi yang selalu digandrungi oleh semua manusia, energi listrik. Selain membahas asal usulnya, seperti pada karya Watchdoc yang biasanya selalu terselip pembahasan yang menarik pada setiap karya dokumenternya, kali ini terselip masalah penguasa yang menguasai proses pengolahan dari batubara mentah menuju ke PLTU dan menjadi listrik. Yang lebih menarik selain penguasa, terdapat pula “calon penguasa” (re: Presiden).
Peribahasa yang ada di paragraf sebelumnya bermaksud menunjukkan apa yang didapat setelah menyaksikan film dokumenter ini. Terdapat maksud tertentu dari tujuan yang dituju, begitu cara saya menafsirkan apa yang terjadi setelah menyaksikan Sexy Killers tersebut selain betapa naifnya saya menikmati listrik tanpa menyadari bahwa dampak pembangkitnya yang sangat berbahaya dalam hal ini PLTU, seperti yang dilihat dari film dokumenter tersebut. Dalam film tersebut dapat disaksikan betapa prihatinnya kondisi alam Indonesia yang sudah berubah sebab dikonsumsi oleh pengusaha dan penguasa yang sangat bersinergi dalam mencari keuntungan, memang kompak dalam hal ini. Contohnya saja, dalam kasus perusahaan tambang yang dalam aturannya, di peraturan menteri lingkungan hidup seharusnya 500 meter, namun nyatanya masih ada yang berjarak dekat, bahkan sangat dekat antara pemukiman dan perusahaan tambang.
Lantas mengapa masih ada pertambangan yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman warga? Lho itu kan aturan pemerintah yang jelas hukumnya. Apakah ada kongkalikong antara pemerintah daerah dengan pengusaha atau mungkin pengusahalah yang berkuasa di dalam pemerintah? Dalam film ini dijelaskan siapa yang ada di balik usaha-usaha tambang yang dekat dengan masyarakat tersebut. Ya, para penguasa yang ada di balik usaha-usaha tambang batubara tersebut. Ditayangkan pada Sexy Killers, terdapat efek berantai antara pengusaha dengan penguasa. Mungkin kita sempat berfikir apakah para penguasa dan elit politik hanya mendapat uang dari tugasnya sebagai elit negara. Nyatanya para penguasa ini juga pengusaha. Gurita bisnis penguasa masuk ke dalam konteks pengusaha menjadikan mereka memiliki kepentingan dalam berkuasa, yaitu agar usahanya tetap berkembang dan mendulang ratusan bahkan miliaran rupiah. Dengan peran sebagai pemerintah atau elit politik pemangku kebijakan, para penguasa ini memanfaatkan posisinya demi mempertahankan usahanya.
Tidak usah pusing-pusing menafsirkan pemikiran tadi, singkatnya demi menjaga bisnis, kekuasaan harus diraih agar bisnis tidak berhenti dan dapat leluasa menguasai apa saja dalam konteks seperti izin bisnis yang dikeluarkan oleh pemerintah dan semacamnya. Perusahaan-perusahaan penguasa sektor pertambangan batubara yang ada di Indonesia, seperti yang dipaparkan dalam Sexy Killers, mayoritas dikuasai oleh penguasa (pejabat pemerintahan, elit politik, menteri-menteri) di Indonesia. Sebut saja Menko Kemaritiman, capres satu, dua; cawapres satu, dua, dan tim sukses serta BPN maupun TKN-nya yang ada dalam gurita bisnis tersebut. Dan ketika dilihat semuanya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang berbeda kubu pun ternyata sama seleranya dalam berbisnis dan ternyata sejalan. Seakan-akan ada upaya untuk tetap menjaga bisnisnya tetap berjalan dengan cara berkuasa dan berdiri diatas penderitaan rakyat, tidak peduli memihak kubu mana semua terlihat sama saja, itu pendapat saya loh.
Pilpres yang akan datang sudah pasti menjadi penentu, yang terpilih akan memainkan banyak peran di dalamnya. Capres dan cawapres yang akan bertarung untuk mengejar plat nomor merah bertuliskan RI-1 dan RI-2, ternyata ada dan terlibat dalam gurita bisnis tambang batubara. Lucunya, ketika debat presiden sempat ditanyakan mengenai efek negatif dari berdirinya tambang-tambang tersebut terutama setelah proses menambang selesai. Seperti ini pertanyaannya: “2018, kurang lebih 8 juta hektar lubang tambang belum direklamasi... Pertanyaanya bagaimana langkah konkrit bapak-bapak untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh lubang-lubang bekas tambang tersebut?” Kedua capres menjawab dengan jawaban ada sedikit masuk akal dan ada yang memberikan laporan kerjanya “kita harus lebih galak lagi untuk mengejar pelanggar-pelanggar pencemaran lingkungan hidup” lalu ada pula “memang ada satu, dua, tiga yang memang belum dikerjakan, tetapi dengan pengawasan pemerintah daerah dan kementrian LH, saya yakin itu bisa dikerjakan (reklamasi)”. Dan ya, itulah langkah konkrit yang disampaikan mereka, selebihnya bisa disaksikan saja sendiri.
“Loh kok, bisnis mereka dikaitan dengan pilpres sih?” Ada yang bertanya seperti itu ketika tulisan ini dibuat. Jadi, biasanya terdapat politik kepentingan yang ada di balik maksud calon-calon yang mencalonan diri. Posisi di dalam dunia bisnis memang tidak ada kaitannya dengan posisi di dalam pemerintahan atau elit politik. Namun, hal itu terjadi apabila fokus di dalam satu bidang saja, tapi ini lain ceritanya apabila sudah mencalonkan diri atau mempunyai jabatan ternyata memiliki bisnis, dan bisnis atau usahanya ternyata bukan bisnis kelas teri pula. Akan ada keinginan-keinginan lebih, yang biasanya menyimpang dari tujuan mulia sebagai pejabat pemerintah atau elit politik atau wakil rakyat. Oleh karena itu kegiatan bisnis mereka dapat dikaitkan dengan alasan mereka maju ke perpolitikan, apakah untuk rakyat atau untuk yang lain. Dan juga terdapat fenomena bagi-bagi jabatan bagi para timses, juru kampanye dan sebagainya yang berperan dalam menangnya si calon, hal tersebut juga beraroma politik kepentingan. Dan itulah pembahasan menarik dari karya Watchdoc kali ini.
Jadi, penentu menangnya salah satu pasangan calon ada di tangan para pemilih. Penentunya adalah rakyat. Secara idealnya memang rakyatlah penentu seperti apa pemimpin negara yang akan genap berusia 74 tahun ini. Presiden kita nanti apakah dapat menjadi jalan keluar atas apa yang terjadi jika dilihat dari sudut pandang film dokumenter ini? atau ternyata menjadi pengusaha berkedok penguasa seperti yang sudah dibahas di beberapa paragraf di atas. Semua kemungkinan dapat terjadi, penguasa memanfaatkan posisi untuk meraup rupiah sebanyak-banyaknya atau penguasa memanfaatkan posisi untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak ada yang tahu. Negara ini tetap berdiri kokoh selama rakyatnya bersatu teguh, ini Indonesia kita, dulu katanya tongkat, kayu dan batu jadi tanaman sekarang pun semoga masih sama dan tepat. Jangan sampai “Ada Udang di Balik Batu” lagi untuk 5 tahun kedepan. Sekian.
Penulis: M. Yusya Rahmansyah
Penyunting: Neli.P
No comments:
Post a Comment