Politik Kampus: Wanita Tidak Memimpin, Wanita Selalu Benar? - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Sunday, 11 February 2018

Politik Kampus: Wanita Tidak Memimpin, Wanita Selalu Benar?

Tragedi Universitas Siliwangi pada tahun lalu yaitu kekosongan jabatan di BEM & BLM US tidak akan terulang kembali selama setahun ke depan. Pada hari Senin (29/1/2018) pihak kampus telah melantik Ketua Umum BEM & BLM US terpilih. Begitu pun beberapa Ormawa di tingkat fakultas dan jurusan, sebagian telah usai melaksanakan pelantikan.


Namun setelah pesta demokrasi usai, ternyata ada satu hal menarik yaitu tidak adanya kaum wanita yang ikut berpartisipasi dalam proses pencalonan pimpinan. Semua Ormawa fakultas dan jurusan menghasilkan pemimpin kaum laki-laki dan yang mencalonkan pun tentu tidak ada dari kaum wanita. Jadi tentu saja selama setahun ke depan tidak ada Ketua Umum Ormawa oleh kaum wanita. Hal ini yang menarik jika dilihat dari perspektif studi gender dan politik.


Konsep gender menurut Mansour Fakih (1999:8) yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lembut, keibuan, anggun dan cantik. Sementara laki-laki dianggap sebagai pemimpin, kuat, gagah, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu dalam konsep gender merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.


Dalam konsep gender dan politik pun sifat-sifat seperti kepemimpinan dan kekuasaan dapat bertukaran dan bergantung pada hasil konstruksi masyarakat tersebut. Dalam hal ini semua orang dapat menjadi pemimpin (termasuk wanita) dan lingkungan kampus sebagai tempat pengonstruksian (dalam hal ini yaitu mahasiswa) akan menolak sifat mengutamakan kepemimpinan dari kalangan tertentu. Oleh karena itu, budaya patriarki tidak akan terlalu kental baik di lingkungan sosial kampus maupun dalam proses konstelasi politik kampus. Jadi, tidak munculnya kaum wanita dalam proses kepemimpinan politik kampus karena faktor lingkungan tidak dapat dijadikan sebagai sebuah pembenaran.


Konstelasi politik kampus pada 2017 lalu diwarnai oleh fenomena calon tunggal dan sedikit Ketua Ormawa dari kaum wanita. Di Ormawa FKIP, calon tunggal ada di tingkat fakultas dan jurusan. BEM dan BLM FKIP memunculkan masing-masing calon tunggal, berbeda dengan tahun sebelumnya dimana lebih dari satu calon berebut menjadi Ketua BEM dan BLM. Seperti biasa, dari Jurusan Pendidikan Biologi kembali terpilih menjadi Ketua BEM. Di tingkat jurusan, Ormawa Himaptika pun memilih ketua dengan calon tunggal. Secara umum semua Ketua Ormawa terpilih di lingkungan FKIP tidak ada dari kaum wanita dan yang mencalonkan pun tidak ada.


Di Ormawa FE yang pertama dilantik setelah musyawarah menghasilkan calon tunggal di Ketua BLM dan terjadi proses dialektika yang kuat dalam proses pemilihan Ketua BEM karena ada 3 calon yang bersaing. Tetapi semua calon tidak ada dari kaum wanita dan semua Ketua Ormawa tingkat jurusan yang terpilih tidak ada dari kaum wanita. Di Ormawa FT baik dari demisioner maupun ketua yang terpilih menghasilkan pimpinan kaum laki-laki di tingkat fakultas dan jurusannya. Di Jurusan Teknik Elektro meskipun calon ketua dan calon wakil ketua ada dalam proses pemilihan, tidak ada kaum wanita yang mencalonkan. Dua jurusan lainnya (Teknik Sipil dan Teknil Informatika) pun tidak ada calon dari wanita.


Tiga Fakultas yang mempunyai satu jurusan, yaitu: FIK, FISIP dan FAI semuanya tidak menghasilkan Ketua Ormawa terpilih dari kaum wanita. Lingkungan FIK meskipun secara kuantitas mahasiswanya didominasi oleh kaum wanita hanya menghasilkan pimpinan dari laki-laki baik di BEM maupun BLM. Sama halnya seperti di fakultas lain dimana demisioner dan ketua terpilih berasal dari kaum laki-laki, Ormawa FAI yang melakukan musyawarah secara dua kali di tahun yang sama mengalami proses dinamika yang menarik. Musyawarah yang pertama memilih Ketua/Gubernur BEM dengan proses calon tunggal. Meskipun kepemimpinan BEM dan BLM periode 2017 dipimpin oleh laki-laki, pucuk pimpinan kedua yaitu wakil ketua/gubernur diisi oleh wanita. Sementara musyawarah yang kedua berbeda dari yang sebelumnya, dalam musyawarah kali ini menghasilkan lebih dari satu calon baik di BEM, BLM maupun Hima. Namun semua calon tidak ada seorang pun dari kaum wanita. Sebagai satu-satunya fakultas dengan satu jurusan yang memiliki Ormawa Hima, pencalonan Ketua Ormawa tingkat jurusan pada musyawarah yang kedua menghasilkan calon banyak dengan memunculkan lebih dari tiga calon. Fenomena calon tunggal tidak terulang pada musyawarah yang kedua ini. Seperti biasa, tidak ada satu pun calon wanita meskipun periode sebelumnya ada wanita yang menjabat sebagai orang kedua di BEM.


Di Ormawa FISIP yang melaksanakan musyarah pada pertengahan tahun lalu, tidak menghasilkan Ketua Ormawa wanita baik di BEM maupun BLM. Akan tetapi, konstelasi Ormawa BEM dan BLM diwarnai dengan calon wanita. Meskipun kedua wanita yang mencalonkan tidak terpilih, setidaknya saat ini orang kedua/wakil ketua di Ormawa BLM diisi oleh wanita. Di Ormawa FAPERTA yang baru dilantik (6/2/2018) dan melaksanakan musyawarah dua kali pada tahun lalu, pernah dipimpin oleh seorang wanita di Ormawa Himagri. Hal ini tercatat pada tahun 2017 sebagai satu-satunya Ormawa yang dipimpin oleh wanita. Pada musyawarah yang kedua, seperti biasa terjadi calon tunggal di tingkat fakultas dan jurusan. Calon tunggal di BEM terulang kembali seperti musyawarah sebelumnya dan kali ini di Ormawa Himagro pun terjadi calon tunggal. Di Ormawa tingkat Universitas yang sebelumnya vakum selama satu periode, menghasilkan Ketua BLM US dengan calon tunggal dan tentu tidak ada satu pun calon dari wanita di pencalonan BEM US. Bahkan keberlangsungan pemilihan dari sekian banyaknya delegasi yang menghadiri musyawarah dari berbagai UKM dan Ormawa, hanya satu orang wanita yang ikut serta berpartisipasi menyelesaikan sidang sampai tuntas.


Fenomena ini dapat menjelaskan bahwa tingkat partisipasi politik kampus kaum wanita di Unsil tergolong rendah jika tolak ukurnya hanya melihat tampuk pimpinan Ketua Ormawa. Jika aktivis-aktivis kampus hanya dapat didefinisikan sebagai seseorang yang menjabat ketua umum organisasi kemahasiswaan, maka saat ini Unsil krisis akan aktivis kaum hawa. Realita ini tidak bisa dijadikan alasan karena faktor lingkungan mengingat fakultas yang jumlah mahasiswanya lebih banyak didominasi oleh wanita seperti FIK dan FKIP (tidak termasuk Himapenjas yang didominasi laki-laki) menghasilkan Ketua Ormawa tidak dari wanita. Fakultas yang jumlah mahasiswanya hampir sebanding antara wanita dengan laki-laki seperti FAPERTA dan FISIP pernah dipimpin oleh wanita dan diwarnai oleh pencalonan dari kaum wanita.


Yang menjadi tugas kita yaitu tidak boleh mengabaikan nilai-nilai yang berasal dari kaum wanita seperti yang dikatakan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak bahwa suatu peradaban lahir dari kaum wanita. Bahkan tokoh-tokoh politik seperti Lenin, Mahatma Gandhi mempunyai pandangan terhadap wanita dalam proses pembangunan. Bung Karno (1963:5) pun mengatakan bahwa kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak dapat menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti persoalan wanita. Ini menjadi kewajiban semua bahwa dalam konteks kampus pun peran wanita untuk berkontribusi membangun peradaban harus ikut serta.


Entah dengan menjadi pemimpin atau tidak, yang pasti pola untuk berkontribusi dari kaum wanita harus berbarengan dengan laki-laki. Oleh karena itu, tidak munculnya kaum wanita dalam proses kepemimpinan Ormawa tidak bisa dinilai sebagai maju mundur emansipasi politik kampus, melainkan dinilai sebagai pola masing-masing untuk berkontribusi. Kondisi tidak adanya kaum wanita yang menjadi pimpinan tidak bisa dijelaskan secara umum, karena hanya wanita yang bisa menjelaskan mengapa aktivis wanita di kampus Unsil ini berperan demikan.


Sampai pada tahap akhir ketika wanita tidak menjadi pucuk pimpinan apakah suatu kemunduran atau tidak, apakah ada proses dinamika politik kampus yang mendiskreditkan salah satu unsur atau tidak, apakah semuanya turut berkontribusi bagi pembangunan peradaban kampus atau tidak, semuanya mempunyai perspektif masing-masing. Lantas ketika kaum wanita mempunyai sikap tidak ingin memimpin, mengutip pernyataan anak muda zaman now: “Apakah wanita selalu benar? Atau ini merupakan suatu kesalahan? Semua orang dapat memberikan pandangannya masing-masing dan kembali lagi hanya wanita sendiri lah yang mengetahui mengapa ia berbuat demikian”. (Rony Mardyana, FISIP 2016)

No comments:

Post a Comment