Legitimasi Hukum Adat dan Pengakuan Suku Pribumi
sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan di Indonesia
Isu- isu lingkungan yang terjadi saat ini merupakan salah satu hal yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Dari waktu ke waktu kondisi lingkungan di Indonesia semakin hari semakin buruk. Hamparan karpet hijau yang dulu membentang panjang dari Sabang sampai Merauke kini hanyalah cerita semata. Seperti yang dilansir dari laman Badan Pusat Statistik Nasional (https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1763), sampai tahun 2015 menujukan ada 8.786 kasus pencemaran air, 11.998 kasus pencemaran udara, dan 1.301 kasus pencemaran tanah. Tak hanya itu,pada tahun 2016 telah terjadi ratusan kasus illegal logging dan illegal fishing yang rajin mewarnai acara berita di berbagai stasiun TV di Indonesia. Yang terbaru adalah kasus reklamasi teluk di Jakarta yang hingga melibatkan pejabat DPRD dalam tindak pidana korupsi. Kekhawatiran ini menjadi isu yang sangat krusial bagi masyarakat Indonesia.
Dalam rangka menangulangi dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pemerintah (sebagai eksekutor), aktivis, serta berbagai lapisan masyarakat telah berupaya merealisasikan kebijakan dan upaya yang dapat mencegah terjadinya masalah ini. Namun banyak yang belum menyadari bahwa peran serta suku pribumi dan hukum adatnya telah berpengaruh secara signifikan terhadap upaya pelestarian lingkungan. Keefektifan sistem hukum adat suku pribumi terhadap hasil pencegahannya memiliki perbedaan integritas yang sangat tinggi di bandingkan dengan hukum publik yang saat ini berlaku di Indonesia. Hal ini di sebabkan karena kesadaran objek hukum adat yang sangat tinggi. Oleh karena itulah hukum adat memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pelestarian lingkungan.
Namun faktanya, masyarakat adat saat ini masih mengalami dilemma, karena dalam praktiknya masyarakat adat tidak memiliki otonomi yang penuh terhadap lingkungan tertorialnya. Meskipun telah di tetapkan pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”, namun pengakuan masyarakat adat atau suku pribumi dalam hal pengelolaan wilayah territorialnya dan pengakuan suku pribumi dalam rangka perlindungan sampai saat ini masih minim realisasinya. Alhasil, tindakan sewenang- wenang oknum perusak lingkungan yang mengatasnamakan bisnis kian hari kian merebak. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap lingkungan dan suku pribumi, pemerintah harus segera merealisasikan UUPMA (Undang – Undang Pengakuan Masyarakat Adat). Sehingga suku pribumi dapat menjalankan penuh hukum adatnya sebagai upaya pelestarian lingkungan.
Apabila dikaji lebih jauh, ada tiga prinsip hidup yang dipegang teguh oleh suku pribumi sebagai objek hukum adat. Pertama, kesadaran untuk melestarikan dan menjaga alam lebih tinggi, karena mereka memiliki ikatan yang kuat dengan alam. Sehingga tugas untuk menjaga dan melestarikan alam sudah menjadi keharusan penuh bagi mereka. Kedua, suku pribumi memiliki rasa syukur yang tinggi terhadap alam. Tidak seperti masyarakat sipil, suku pribumi mengolah berbagai kebutuhan hidupnya secara langsung dari alam. Sehingga rasa syukur terhadap alam muncul lebih dalam. Ketiga, suku pribumi hanya memiliki satu system pemerintahan. Penduduk suku pribumi, hanya akan mematuhi segala perintah yang ditujukan oleh ketua suku. Karena mereka sadar, jika perintah yang ditujukan dilanggar maka mereka akan mendapat sanksi.
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya bahwa tiga prinsip dari suku pribumi inilah yang akan menjadi bekal dan bukti mengapa legitimasi hukum adat dan pengakuan eksistensi suku pribumi menjadi salah satu upaya perlindungan terhadap pelestarian lingkungan. Pertama ikatan batin yang kuat antara suku pribumi dan alam menjadi salah satu alasan bahwa hukum adat dapat mendukung penuh terciptanya pelestarian lingkungan yang baik, seperti hal nya hukum adat di Bali. Dengan segala potensi wisata alamnya, ternyata Bali adalah salah satu wilayah yang sangat menghargai kelestarian lingkungan. Salah satu hukum yang berlaku adalah soal pendirian bangunan. Sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan, hukum adat di Bali melarang siapapun untuk mendirikan bangunan lebih dari 10 meter. Hal ini sebagai upaya pencegahan terjadinya pencemaran udara. Tak hanya itu, upaya penolakan reklamasi teluk benoa oleh 27 desa adat di Bali berhasil membuat eksekutor berfikir dua kali untuk mereklamasi teluk benoa. Tak hanya itu, kontribusi besar masyarakat dan hukum adat di Bali telah berhasil menciptakan lingkungan alam yang lestari. Bayangkan apa yang terjadi apabila hukum adat secara legal di legitimasi dan bahkan di implementasikan sebagai hukum publik sebagai upaya pelestarian lingkungan, maka tentunya akan banyak sekali lingkungan yang akan terselamatkan secara signifikan.
Rasa syukur yang tinggi merupakan alasan kedua mengapa suku pribumi dan hukum adatnya layak untuk di akui dan dilegitimasi secara hukum. Suku pribumi, lahir dan tumbuh langsung dengan alam. Sehingga, suku pribumi mengelola berbagai kebutuhan hidupnya secara langsung dari alam. Pengelolaan berbagai kebutuhan hidup ini dikelola secara bijaksana berdasarkan hukum adat yang berlaku. Seperti yang berlaku dikalangan masyarakat adat Baduy di desa Kanekes, Banten. Masyarakat baduy memiliki beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang. Yang pertama adalah, dilarang menggunakan pupuk dan obat- obatan kimia. Seperti kita ketahui bersama bahwa pupuk dan obat – obatan kimia dapat merusak kandungan mineral tanah, sehingga potensi terjadinya pencemaran tanah akan berkurang. Kedua, dilarang membuka ladang baru di leuweung lembur (hutan kampung atau hutan warisan). Pelarangan ini secara tersirat adalah sebagai upaya pencegahan terjadinya eksploitasi hutan. Sehingga apabila hukum adat ini di legitimasi dan di akui, maka tidak akan ada lagi cerita eksploitasi hutan berlebihan oleh pihak swasta yang tidak bertanggung jawab.
Suku pribumi hanya memiliki satu system pemerintahan. Penduduk suku pribumi, hanya akan mematuhi segala perintah yang ditujukan oleh ketua suku. Karena mereka sadar, jika perintah yang ditujukan dilanggar maka mereka akan mendapat sanksi. Kesadaran hukum ini melekat pada masyarakat suku pribumi secara turun temurun. Sehingga potensi pelanggaran hukum dan dampaknya pada kelestarian alam akan secara signifikan berkurang. Seperti hukum adat yang diberlakukan di Dusun adat Pongangan¸Desa Ngadirejo¸Kabupaten Magelang, bahwa setiap perusak lingkungan akan di hukum di sungai untuk digunduli lalu diintruksikan untuk membersihkan sungai dan meyebar binih ikan. Hal ini telah berhasil mengurangi terjadinya kasus perusakan lingkungan di Kabupaten Magelang. Selain itu pada umumnya, setiap pelanggar yang tinggal di desa adat akan secara otomatis dikeluarkan atau di isolasi dari desa adat. Hukum adat dengan segala konsekuesinya berupaya menjaga kelestarian lingkungan agar tetap lestari. Oleh karena itu, inilah sebabnya mengapa pengakuan dan legitimasi hukum atas masyarakat dan hukum adat harus segera direalisasikan demi kelestarian lingkungan hidup.
Jadi legitimasi hukum adat dan pengakuan suku pribumi sebagai upaya pelestarian lingkungan di Indonesia harus segera direalisasikan mengingat tiga prinsip hidup dan hukum adat yang dimiliki suku pribumi telah terbukti berperan secara signifikan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Hadi, Sophian.”Pengakuan Masyarakat Adat”. 17 September 2014. http://www.kompasiana.com/sopianhadi83/pengakuan-masyarakat-adat_54f5cf3ca333114a4f8b45b9
Desa Adat Kengonangan. “Memahami Hukum Adat Bali”. November 2014. http://www.lpdkedonganan.com/2014/11/memahami-hukum-adat-bali.html
BEM UNUD. “Mengapa Kami Menolak Reklamasi”. 24 Juli 2014. http://bem.unud.ac.id/mengapa-kami-menolak-reklamasi-teluk-benoa/
Firmansyah, Nurul. “Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: “Kemana mau melangkah ?” . 18 Oktober 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507fb134859a9/pengakuan-masyarakat-hukum-adat--kemana-mau-melangkah-broleh--nurul-firmansyah-
Dalam rangka menangulangi dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, pemerintah (sebagai eksekutor), aktivis, serta berbagai lapisan masyarakat telah berupaya merealisasikan kebijakan dan upaya yang dapat mencegah terjadinya masalah ini. Namun banyak yang belum menyadari bahwa peran serta suku pribumi dan hukum adatnya telah berpengaruh secara signifikan terhadap upaya pelestarian lingkungan. Keefektifan sistem hukum adat suku pribumi terhadap hasil pencegahannya memiliki perbedaan integritas yang sangat tinggi di bandingkan dengan hukum publik yang saat ini berlaku di Indonesia. Hal ini di sebabkan karena kesadaran objek hukum adat yang sangat tinggi. Oleh karena itulah hukum adat memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pelestarian lingkungan.
Namun faktanya, masyarakat adat saat ini masih mengalami dilemma, karena dalam praktiknya masyarakat adat tidak memiliki otonomi yang penuh terhadap lingkungan tertorialnya. Meskipun telah di tetapkan pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”, namun pengakuan masyarakat adat atau suku pribumi dalam hal pengelolaan wilayah territorialnya dan pengakuan suku pribumi dalam rangka perlindungan sampai saat ini masih minim realisasinya. Alhasil, tindakan sewenang- wenang oknum perusak lingkungan yang mengatasnamakan bisnis kian hari kian merebak. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap lingkungan dan suku pribumi, pemerintah harus segera merealisasikan UUPMA (Undang – Undang Pengakuan Masyarakat Adat). Sehingga suku pribumi dapat menjalankan penuh hukum adatnya sebagai upaya pelestarian lingkungan.
Apabila dikaji lebih jauh, ada tiga prinsip hidup yang dipegang teguh oleh suku pribumi sebagai objek hukum adat. Pertama, kesadaran untuk melestarikan dan menjaga alam lebih tinggi, karena mereka memiliki ikatan yang kuat dengan alam. Sehingga tugas untuk menjaga dan melestarikan alam sudah menjadi keharusan penuh bagi mereka. Kedua, suku pribumi memiliki rasa syukur yang tinggi terhadap alam. Tidak seperti masyarakat sipil, suku pribumi mengolah berbagai kebutuhan hidupnya secara langsung dari alam. Sehingga rasa syukur terhadap alam muncul lebih dalam. Ketiga, suku pribumi hanya memiliki satu system pemerintahan. Penduduk suku pribumi, hanya akan mematuhi segala perintah yang ditujukan oleh ketua suku. Karena mereka sadar, jika perintah yang ditujukan dilanggar maka mereka akan mendapat sanksi.
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya bahwa tiga prinsip dari suku pribumi inilah yang akan menjadi bekal dan bukti mengapa legitimasi hukum adat dan pengakuan eksistensi suku pribumi menjadi salah satu upaya perlindungan terhadap pelestarian lingkungan. Pertama ikatan batin yang kuat antara suku pribumi dan alam menjadi salah satu alasan bahwa hukum adat dapat mendukung penuh terciptanya pelestarian lingkungan yang baik, seperti hal nya hukum adat di Bali. Dengan segala potensi wisata alamnya, ternyata Bali adalah salah satu wilayah yang sangat menghargai kelestarian lingkungan. Salah satu hukum yang berlaku adalah soal pendirian bangunan. Sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan, hukum adat di Bali melarang siapapun untuk mendirikan bangunan lebih dari 10 meter. Hal ini sebagai upaya pencegahan terjadinya pencemaran udara. Tak hanya itu, upaya penolakan reklamasi teluk benoa oleh 27 desa adat di Bali berhasil membuat eksekutor berfikir dua kali untuk mereklamasi teluk benoa. Tak hanya itu, kontribusi besar masyarakat dan hukum adat di Bali telah berhasil menciptakan lingkungan alam yang lestari. Bayangkan apa yang terjadi apabila hukum adat secara legal di legitimasi dan bahkan di implementasikan sebagai hukum publik sebagai upaya pelestarian lingkungan, maka tentunya akan banyak sekali lingkungan yang akan terselamatkan secara signifikan.
Rasa syukur yang tinggi merupakan alasan kedua mengapa suku pribumi dan hukum adatnya layak untuk di akui dan dilegitimasi secara hukum. Suku pribumi, lahir dan tumbuh langsung dengan alam. Sehingga, suku pribumi mengelola berbagai kebutuhan hidupnya secara langsung dari alam. Pengelolaan berbagai kebutuhan hidup ini dikelola secara bijaksana berdasarkan hukum adat yang berlaku. Seperti yang berlaku dikalangan masyarakat adat Baduy di desa Kanekes, Banten. Masyarakat baduy memiliki beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang. Yang pertama adalah, dilarang menggunakan pupuk dan obat- obatan kimia. Seperti kita ketahui bersama bahwa pupuk dan obat – obatan kimia dapat merusak kandungan mineral tanah, sehingga potensi terjadinya pencemaran tanah akan berkurang. Kedua, dilarang membuka ladang baru di leuweung lembur (hutan kampung atau hutan warisan). Pelarangan ini secara tersirat adalah sebagai upaya pencegahan terjadinya eksploitasi hutan. Sehingga apabila hukum adat ini di legitimasi dan di akui, maka tidak akan ada lagi cerita eksploitasi hutan berlebihan oleh pihak swasta yang tidak bertanggung jawab.
Suku pribumi hanya memiliki satu system pemerintahan. Penduduk suku pribumi, hanya akan mematuhi segala perintah yang ditujukan oleh ketua suku. Karena mereka sadar, jika perintah yang ditujukan dilanggar maka mereka akan mendapat sanksi. Kesadaran hukum ini melekat pada masyarakat suku pribumi secara turun temurun. Sehingga potensi pelanggaran hukum dan dampaknya pada kelestarian alam akan secara signifikan berkurang. Seperti hukum adat yang diberlakukan di Dusun adat Pongangan¸Desa Ngadirejo¸Kabupaten Magelang, bahwa setiap perusak lingkungan akan di hukum di sungai untuk digunduli lalu diintruksikan untuk membersihkan sungai dan meyebar binih ikan. Hal ini telah berhasil mengurangi terjadinya kasus perusakan lingkungan di Kabupaten Magelang. Selain itu pada umumnya, setiap pelanggar yang tinggal di desa adat akan secara otomatis dikeluarkan atau di isolasi dari desa adat. Hukum adat dengan segala konsekuesinya berupaya menjaga kelestarian lingkungan agar tetap lestari. Oleh karena itu, inilah sebabnya mengapa pengakuan dan legitimasi hukum atas masyarakat dan hukum adat harus segera direalisasikan demi kelestarian lingkungan hidup.
Jadi legitimasi hukum adat dan pengakuan suku pribumi sebagai upaya pelestarian lingkungan di Indonesia harus segera direalisasikan mengingat tiga prinsip hidup dan hukum adat yang dimiliki suku pribumi telah terbukti berperan secara signifikan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Hadi, Sophian.”Pengakuan Masyarakat Adat”. 17 September 2014. http://www.kompasiana.com/sopianhadi83/pengakuan-masyarakat-adat_54f5cf3ca333114a4f8b45b9
Desa Adat Kengonangan. “Memahami Hukum Adat Bali”. November 2014. http://www.lpdkedonganan.com/2014/11/memahami-hukum-adat-bali.html
BEM UNUD. “Mengapa Kami Menolak Reklamasi”. 24 Juli 2014. http://bem.unud.ac.id/mengapa-kami-menolak-reklamasi-teluk-benoa/
Firmansyah, Nurul. “Pengakuan Masyarakat Hukum Adat: “Kemana mau melangkah ?” . 18 Oktober 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507fb134859a9/pengakuan-masyarakat-hukum-adat--kemana-mau-melangkah-broleh--nurul-firmansyah-
Sumber foto:
https://www.google.com/search?q=KELABU&tbm=isch&imgil=YB0yse4kFqmrIM%253A%253BV4m2U2PGZQfmGM%253Bhttps%25253A%25252F%25252Fombaklaut.wordpress.com%25252Ftag%25252Fsenja-kelabu%25252F&source=iu&pf=m&fir=YB0yse4kFqmrIM%253A%252CV4m2U2PGZQfmGM%252C_&usg=__atCho1chL41vT8dse7slC6eIRuI%3D&biw=1440&bih=787&ved=0ahUKEwjxuv_W1JXOAhVMwI8KHS6nD3YQyjcIMg&ei=rLeZV_G0DsyAvwSuzr6wBw#tbm=isch&q=hukum+adat&imgrc=XT3-hlkwP8PESM%3A
https://www.google.com/search?q=KELABU&tbm=isch&imgil=YB0yse4kFqmrIM%253A%253BV4m2U2PGZQfmGM%253Bhttps%25253A%25252F%25252Fombaklaut.wordpress.com%25252Ftag%25252Fsenja-kelabu%25252F&source=iu&pf=m&fir=YB0yse4kFqmrIM%253A%252CV4m2U2PGZQfmGM%252C_&usg=__atCho1chL41vT8dse7slC6eIRuI%3D&biw=1440&bih=787&ved=0ahUKEwjxuv_W1JXOAhVMwI8KHS6nD3YQyjcIMg&ei=rLeZV_G0DsyAvwSuzr6wBw#tbm=isch&q=hukum+adat&imgrc=XT3-hlkwP8PESM%3A
Essay kiriman dari:
Annisa Dwi Utami,
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Kirimkan hasil karya berupa tulisan ke e-mail: redaksi.persmaunsil@gmail.com atau line @zvg3544w. Tunngu dan tulisanmu akan dimuat di blog Pers Mahasiswa Universitas Siliwangi.
No comments:
Post a Comment