Mahasiswa; Agen Perubahan atau Agen Pembunuhan? - GEMERCIK MEDIA

Breaking

Thursday 8 December 2016

Mahasiswa; Agen Perubahan atau Agen Pembunuhan?


Sumber foto: 
https://saungukt.wordpress.com/2012/page/2/

Menjadi mahasiswa merupakan keinginan banyak orang di Indonesia, mempunyai derajat yang lebih tinggi dari masyarakat lainnya serta menjadi kebanggaan bagi orang tua bahwa ia sanggup memberi pendidikan tertinggi kepada anaknya serta kebanggaan anaknya yang menyandang gelar mahasiswa. Namun perlu menjadi kecemasan, bahwa dunia perkuliahan adalah dunia yang paling bebas atas segala hal, terlebih jika seorang anak tak lagi hidup bersama orang tuanya atau merantau sehingga hidup tanpa pengawasan. Kebebasan inilah yang perlu menjadi perhatian semua pihak akademisi kampus untuk terus mengawasi dan memberi perhatian lebih terhadap mahasiswanya. 

Masuk dalam dunia yang bebas, jika tidak mendekatkan diri pada pergaulan yang baik dan meningkatkan keimanan pada Tuhan, maka yang terjadi adalah terjerumus pada masa kelam atau pergaulan bebas. Selama ini banyak seminar yang hanya berdasarkan pada penyalahgunaan narkoba atau tentang HIV AIDS. Namun hal tersebut tidak menjelaskan secara rinci apa dampak dari penyebab-penyebab seseorang bisa terkena HIV AIDS. 

Budaya pacaran yang telah merabah di Indonesia sejak lama jelas membawa banyak masalah sosial lainnya yang pada akhirnya meningkatkan jumlah kriminalitas. Seks merupakan salah satu tindakan pergaulan bebas dan penyebab dari HIV AIDS. Tidak hanya terkena HIV AIDS dampak dari seks bebas, namun juga kehamilan di luar nikah. Hal ini jelas menjadi salah satu alasan mengapa kasus aborsi di Indonesia sangat banyak terjadi dan mirisnya sangat banyak terjadi secara ilegal.

Menurut data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2008, rata-rata nasional angka kematian ibu melahirkan (AKI) mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Dari jumlah tersebut, kematian akibat aborsi tercatat mencapai 30 persen. Sementara itu, laporan 2013 dari Australian Consortium For In Country Indonesian Studies menunjukkan hasil penelitian di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia terjadi 43 persen aborsi per 100 kelahiran hidup. Aborsi tersebut dilakukan oleh perempuan di perkotaan sebesar 78% dan perempuan di pedesaan 40%. (Data dikutip dari CNN Indonesia).

Jumlah angka tindakan aborsi inilah yang membuktikan bahwa pengajaran tentang reproduksi ataupun sosialisasi tentang seks bebas masih minim. Terlebih pada angka kematian akibat aborsi yang perlu menjadi perhatian. Pendidikan tentang bahaya aborsi perlu dilakukan, karena banyak remaja (laki-laki) yang memaksa pasangannya untuk menggugurkan kandungan pasangannya (perempuan) padahal tidak tahu seberapa bahaya yang ditimbulkan akibat aborsi tersebut. 

Fisik dan mental seseorang berbeda-beda, itulah yang menjadikan efek dari aborsi sendiri tidak bisa disama-ratakan. Pembunuhan yang direncanakan serta pembunuhan pada janin yang tak berdosa, yang dibuat dengan cinta atau nafsu yang pasti dalam kegembiraan ialah kejahatan yang luas biasa. Seorang wanita yang waras pasti akan merasa kehilangan terhadap apa yang ada dalam tubuhnya yang harusnya bisa ia rawat setelah ia merusak dirinya sendiri akibat kesalahan dan dosanya, namun yang dilakukan malahan membuat kesalahan baru yang sebenarnya akan menimbulkan efek bagi diri sang perempuan sendiri.

Perempuan remaja yang melakukan aborsi biasanya akan mengalami Sindroma Pasca-Abortus. The American Phychiatric Association (APA) menjelaskan bahwa kekacauan akibat stress pasca-trauma terjadi apabila “orang mengalami suatu peristiwa yang melampaui batas pengalaman biasa manusia yang pasti akan menggoncangkan jiwa nyaris siapa saja”. APA’s Diagnosic and Statistical Manual of Mental Disorders – Revised (1987) secara spesifik memasukkan aborsi sebagai suatu tekanan psiko-sosial.

Prosedur aborsi mengacaukan tubuh perempuan yang secara fisiologis telah dipersiapkan untuk memelihara seorang bayi. Psikologis seorang perempuan yang aborsi akan sangat terguncang, bahkan relasi dengan orang lain akan terganggu terutama terhadap laki-laki yang nantinya akan muncul ketakutan dalam dirinya akibat traumatis dari laki-laki yang telah memaksa atau menyetujui pengguguran tersebut. Perempuan akan menarik diri dari yang lain, khawatir akan penilaian serta penghakiman atas tindakan kejinya. Ia tinggal dalam keterasingan. 

Gejala spesifik terjadinya Sindroma Pasca-Abortus ialah menangis berkepanjangan, depresi, perasaan bersalah, ketidakmampuan untuk memaafkan diri sendiri, kesedihan mendalam, amarah, kelumpuhan emosional, problem atau kelainan seksual, kekacauan pola makan, perasaan rendah diri, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan minuman alkohol, mimpi buruk dan gangguan tidur, dorongan untuk bunuh diri, kesulitan dalam relasi, serangan gelisah dan panik, serta kilas balik. Selain itu kesehatan pun akan terganggu karena proses aborsi bukan melalui prosedural yang tepat, bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Hal-hal tersebut yang perlu menjadi perhatian sebelum akhirnya memutuskan masuk dalam pergaulan bebas. Pendidikan karakter serta pendidikan tentang seks bebas secara rinci sangat perlu dilakukan di lingkungan kampus ataupun menjadi salah satu mata kuliah wajib, agar mahasiswa bisa mulai melangkah secara benar dan tak kehilangan arah dari apa yang diperbuatnya, karena pengetahuan yang kurang pada akhirnya menimbulkan penyimpangan sosial. Jangan sampai pribadi berubah setelah merasakan dampak yang terjadi pada pergaulan bebas.

Pada dasarnya manusia diciptakan dalam keadaan suci, jika ia menjadi kotor itu adalah kesalahan dirinya sendiri yang tidak mau menjaga apa yang sudah Tuhan titipkan. Manusia adalah baik, jika ia menjadi keji maka ia telah menyimpang dari norma yang ada. Jangan pernah masuk dalam dunia hitam atau pergaulan bebas, karena tidak ada yang menyenangkan dari sebuah kehancuran dan kenikmatan sesaat. Jadilah titipan orang tua yang membanggakan, sebagai mahasiswa yang nantinya akan berguna bagi keluarga, bangsa dan agama.

Iftihal Muslim Rahman

No comments:

Post a Comment